Rabu, 26 Juli 2017

Lima Hal yang sering ditanyakan mengenai Shalat

Lima Hal yang sering ditanyakan mengenai Shalat

Di dalam pembahasan fiqih ibadah, dalam hal ini fiqih shalat, sering ditemukan pertanyaan-pertanyaan terkait adanya perbedaan di dalam masyarakat mengenai tata cara/ fiqih sholat dalam masyarakat. Sayyid Sabiq di dalam karyanya Fiqih Sunnah, yang sering dijadikan pedoman para ulama’ dan tabi tabi’in, menguraikan perkara-perkara tersebut dengan menjelaskan adanya perbedaan pemikiran dalam beberapa mazhab dan dalil-dalil yang menjadi dasarnya. Berikut kami sampaikan lima hal yang sering ditanyakan mengenai fiqih shalat :

1.       Membaca Bismillah pada saat berdiri shalat
Para ulama sepakat bahwa basmalah/ bismillahirrohmanirrohim merupakan bagian ayat dalam surat AnNaml. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat mengenai basmalah yang terdapat pada setiap permulaan surah. Perselisihan pendapat mereka terbagi kepada tiga pemikiran/ mazhab yaitu :
Pertama, ia merupakan termasuk ayat dari al-Fatihah dan dari setiap permulaan ayat. Oleh sebab itu, membaca basmalah dalam surah al-Fatihah adalah wajib, baik ketika dibaca secara perlahan maupun dibaca dengan suara kuat. Alasan terkuat mazhab ini adalah hadits Na’im al-Mujammir yang berkata,
Saya mengerjakan shalat di belakang Abu Hurairah. Lalu ia membaca ‘Bismillahirrohmanirrohim’. Setelah itu, ia membaca Ummul Quran. Demikianlah seterusnya, dimana akhirnya Abu Hurairah mengatakan, ‘Demi Tuhan yang telah menguasai diriku! Shalatku ini adalah cara shalat yang biasa dikerjakan Rasulullah Saw.” (HR An Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Menurut Hafizh dalam kitab Fat-hul Bari, hadits ini merupakan hadits paling sahih yang menyatakan bacaan basmalah dengan suara yang keras.
Kedua, ia merupakan suatu ayat yang berdiri sendiri yang diturunkan untuk mengambil berkah dan sebagai pemisah di antara surah-surah lainnya. Di samping itu, membaca basmalah pada setiap kali membaca al-Fatihah adalah sunnah. Dan seseorang yang membacanya tidak disunnahkan menggunakan suara yang keras. Hal ini didasarkan hadits Anas r.a yang berkata,
Aku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw dan di belakang Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka tidak membaca bismillahirrahmanirrahim dengan suara yang kuat.” (HR An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Thawawi dengan sanad atas syarat Bukhari dan Muslim).
Ketiga, ia tidak termasuk bagian dari al-Fatihah atau surah-surah lainnya. Seseorang yang membaca basmalah adalah dimakruhkan, baik dengan suara perlahan maupun suara kuat, baik dalam shalat fardhu maupun dalam sunnah. Mazhab ini tidak kuat.
Ibnul Qoyyim telah memberikan komentar terhadap mazhab yang pertama dan yang kedua, katanya, “Kadang-kadang Nabi Saw membaca bismillahirrohmanirrohim dengan suara yang keras, tetapi beliau sering membacanya dengan suara perlahan. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa beliau tidak selamanya membaca basmalah dengan suara keras, yakni sebanyak lima kali pada tiap siang dan malam, pada waktu bermukim maupun ketika bermusafir, ...”  

2.       Tempat Menaruh kedua tangan / bersedekap saat berdiri shalat
Kamal bin Hammam mengatakan, “Tidak ada hadis shahih yang mewajibkan meletakkan tangan di bawah dada, maupun di bawah pusat. Kebiasaan yang dilakukan di kalangan pengikut Hanafi adalah meletakkan tangan di bawah pusar. Pengikut mazhab Syafi’i meletakkannya di bawah dada, sedangkan terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari Ahmad, yaitu meletakkannya di bawah pusar dan di bawah dada. Pendapat yang benar adalah boleh melakuka kedua-duanya. Menurut Tirmidzi, para sahabat Nabi Saw dan tabi’in, berpendapat laki-laki harus menaruh tangan kanan di atas tangan kirinya diwaktu mengerjakan shalat. Akan tetapi, ada sebagian di antara mereka yang meletakkannya di sebelah atas pusar, sedangkan sebagiannya lagi berpendapat, meletakkannya di sebelah bawah pusar. Semua cara tersebut pernah dilakukan sebagian sahabat dan tabi’in.”
Namun demikian, terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Saw meletakkan kedua tangannya di atas dada. Hulb ath-Thai berkata, “Saya melihat Nabi Saw menaruh tangan kanan di atas tangan kirinya di atas dada, yakni di atas pergelangannya.” (HR Ahmad dan dinyatakan hasan oleh Tirmidzi).
Wail bin Hajar berkata, “Saya melakukan shalat bersama Nabi Saw maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada.” (HR Ibnu Khuzaimah dan ia menyatakannya sahih. Begitu juga Abu Dawud dan Nasa’i dengan kalimat, “Lalu beliau menaruh tangan kanannya di atas pergelangan dan lengan.” Artinya, Nabi Saw meletakkan tangan sebelah kanan di atas punggung tangannya yang kiri, yaitu pada bagian pergelangan dan lengannya).

3.       Membaca al-Fatihah saat menjadi makmum dalam shalat berjama’ah
Pada asalnya, shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat shalat fardhu maupun shalat sunnah sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Akan tetapi, kewajiban membaca bagi makmum digugurkan ketika mengerjakan shalat-shalat yang mesti dikeraskan suaranya dan ia wajib diam dan mendengarkan bacaan imam. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala, “Dan apabila dibacakan AlQuran, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS Al-A’raf ayat 204).
Juga sabda Rasulullah Saw, “Jika imam membaca takbir, hendaklah kamu membaca takbir pula dan kalau ia membaca AlQuran, hendaklah kamu diam” (HR Muslim).
Dengan demikian, inilah maksud hadits yang berbunyi, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat berjamaah, maka bacaan imam itu berarti bacaannya.” Jadi, maksudnya adalah bacaan imam itu berarti bacaan makmum pada shalat-shalat yang harus menyaringkan suara bacaan. Adapun shalat-shalat yang harus memperlahankan suara bacaan, maka makmum wajib membaca AlQuran. Begitu juga makmum wajib membaca AlQuran pada shalat-shalat yang harus mengeraskan suara bacaan, jika bacaan imam itu tidak kedengaran.
Akan tetapi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan, “Pendapat yang lebih kuat menurut kami adalah wajib membaca AlQuran pada shalat harus memperlahankan suara bacaan karena berdasarkan keumuman maksud dan makna hadits-hadits yang membahas dalam masalah ini. Mengenai shalat yang harus menyaringkan suara bacaan, maka tidak boleh membaca AlQuran, disebabkan tiga alasan:
Pertama, karena yang demikian itu merupakan amalan penduduk Madinah.
Kedua, karena ia adalah perintah AlQuran sebagai firman-Nya, “Dan apabila dibacakan AlQuran, maka dengarkanlah dan diamlah”. Di samping itu, ayat ini didukung pula oleh dua buah hadits, yaitu hadits pertama adalah hadits Imran bin Husain, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa ada beberapa orang di antara kamu telah mengacaukan pikiranku dengan bacaan”. Hadits kedua adalah ucapan Nabi Saw., “Jika imam itu membaca ayat AlQuran, hendaklah kamu berdiam diri”.
Ketiga, ialah tarjih, yakni mengambil pendapat yang lebih kuat. Jadi, jika imam sudah membaca ayat AlQuran, maka si makmum tidak perlu lagi membaca ayat AlQuran. Jika ada seseorang yang bertanya, sebenarnya makmum dibolehkan membaca AlQuran, yaitu sewaktu imam itu berhenti sejenak. Jawabnya adalah berhenti bukanlah suatu keharusan bagi imam. Lantas bagaimanakah caranya melakukan atau memaksakan sesuatu yang fardhu ke dalam perkara yang tidak fardhu, apalagi pada waktu mengerjakan shalat yang harus menyaringkan suara bacaan? Sebenarnya, kita sebagai makmum mempunyai kesempatan untuk membaca ayat AlQuran dengan cara lain, yaitu membacanya di dalam hati, seperti merenung dan memikirkan maknanya. Inilah norma AlQuran dan hadits, memelihara ibadah dan menjaga Sunnah, di samping mengamalkan pendapat yang lebih kuat atau tarjih. Pendapat ini juga menjadi pilihan bagi Zuhri, Ibnu Mubarak, Malik, Ahmad, dan Ishaq yang disokong oleh Ibnu Taimiyah.

4.       Cara turun untuk bersujud dan cara bangkit untuk berdiri
Jumhur ulama berpendapat disunnahkan meletakkan kedua lutut ke lantai sebelum kedua tangan. Hal ini diceritakan Ibnu Mundzir dari Umar, Nakh’i, Muslim bin Yasar, Sufyan Tsauri, Ahmad, Ishaq, dan ulama-ulama lainnya, katanya, “Itu juga merupakan pendapatku sendiri”.
Hal itu juga diceritakan Abu Thayyib sebagai pendapat mayoritas fuqaha. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi Saw. Meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya jatuh ke lantai, kemudian meletakkan kedua tangan, lalu kening dan hidung. Ini merupakan keterangan hadits sahih yang diriwayatkan oleh Syuraik, dari Ashim bin Kalib, dari Wa’il bin Hajar yang berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw. apabila sujud, maka beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangan. Dan jika bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lutut. Dan tidak ditemukan riwayat yang bertentangan dengan perbuatannya itu.
Sementara itu, Malik, Auza’i, dan Ibnu Hazm berpendapat, sunnah meletakkan kedua tangan sebelum lutut. Ini juga merupakan satu riwayat dari Ahmad. Auza’i mengatakan, “Aku dapati kaum muslimin meletakkan kedua tangan sebelum lutut mereka”. Dan menurut Ibnu Abu Dawud, ia juga merupakan pendapat ulama hadits.
Mengenai cara bangkit dari sujud, yakni ketika berdiri menuju rakaat kedua, maka dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Menurut jumhur ulama, sunnah mengangkatkan tangan terlebih dulu, kemudian baru disusul dengan kedua lutut. Sedang menurut sebagian ulama, hendaklah seseorang mengangkat kedua lutut sebelum kedua tangan.

5.       Doa Qunut
Disyariatkan membaca doa qunut dengan suara keras dalam shalat lima waktu ketika ada bencana. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a berkata, “Rasulullah Saw. pernah membaca qunut sebulan berturut-turut dalam shalat-shalat zhuhur, ashar, magrib, isya dan subuh, yaitu pada rakaat terakhir ketika i’tidal sesudah membaca ‘sami’allahu liman hamidah’. Di situ beliau berdoa untuk kebinasaan bani Sulaim, Ra’al, Dzakwan, dan Ushayyah, sedangkan makmum yang di belakang mengaminkan doanya itu. Abu Dawud dan Ahmad menambahkan demikian, ‘Rasulullah Saw. mengirimkan beberapa orang muballigh untuk mengajak ke dalam agama Islam, tetapi para muballigh itu dibunuh kabilah-kabilah tersebut.’ Ikrimah mengatakan, ‘Peristiwa itu merupakan permulaan membaca qunut’.
Qunut dalam shalat subuh, menurut mazhab Syafi’i merupakan perbuatan sunnah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah selain Tirmidzi dari Ibnu Sirin, “Anas bin Malik pernah ditanya demikian, ‘Apakah Nabi Saw. pernah berqunut ketika dalam shalat subuh?’ Ia menjawab, ‘Ya’. Kemudian beliau ditanya kembali, ‘Apakah qunut itu dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya? Ia menjawab, ‘Qunut itu dibaca sesudah ruku’.” Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ahmad, Bazzar, Daruquthni, Baihaqi, dan Hakim yang menganggapnya sahih, dari Anas yang berkata, “Rasulullah Saw.  itu senantiasa berqunut dalam shalat subuh hingga beliau wafat”.
Sementara pendapat imam mazhab lainnya berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh itu tidak disyariatkan kecuali apabila terjadi bahaya. Kalau terjadi bahaya atau bencana, maka bukan hanya dalam shalat subuh yang disunnahkan berqunut, malah ia juga disunnahkan supaya dibaca pada setiap shalat fardhu, sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Khalifah-khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar dan Usman) bahwa mereka tidak pernah berqunut dalam shalat subuh. Demikianlah mazhab Hanafi, Hanbali, Ibnu Mubarak, Tsauri dan Ishak.
Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzi yang menganggapnya sebagai hadits sahih meriwayatkan bahwa Abu Malik Al-Asyja’i berkata, “Ayahku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw ketika masih berusia enam belas tahun, bahkan pernah bermakmum kepada Abu Bakar, Umar dan Utsman. Aku bertanya, ‘Apakah Nabi Saw dan para sahabat itu pernah berqunut? Ayahku menjawab, ‘Tidak, wahai anakku. Itu hanya suatu yang diada-adakan.”
Juga diriwayatkan dari Ibnu Hibban, al-Khatib, Ibnu Khuzaimah dan ia menganggapnya sebagai hadits hasan, dari Anas, “Nabi Saw itu tidak pernah berqunut dalam shalat subuh kecuali bila untuk mendoakan kebaikan atau kebinasaan sesuatu kaum”.

  Akan tetapi, walau bagaimanapun perselisihan para ulama dalam hal ini maka qunut itu termasuk sesuatu hal yang mubah. Dengan kata lain, ia boleh dilakukan atau ditinggalkan. Hanya sebaik-baiknya adalah mengikuti keterangan dan perbuatan yang berasal dari petunjuk Nabi Muhammad Saw.

Wallohua'lam bisshowwab.

Sumber : Kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq

Rabu, 28 Juni 2017

Halal dan Haram dalam Makanan dan Minuman

Halal dan Haram dalam Makanan dan Minuman

                Terdapat kaidah syar’i untuk mengetahui makanan yang dihalalkan dan yang diharamkan, yaitu berdasarkan firman Alloh Swt :
Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir atau daging babi. Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Quran Surah Al An’am ayat 145)
Dan Dia menghalalkan untuk mereka segala yang baik (thoyyibat) dan mengharamkan segala yang buruk” (Quran Surah Al A’raf ayat 157)
Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah : ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik (thoyyibat)” (Quran Surah Al Maidah ayat 4)
Thoyyibat adalah sesuatu yang memberikan kebaikan dan diinginkan oleh jiwa yang sehat. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, ada tiga prinsip kehalalan dan keharaman makanan yaitu :
Dihalalkan hewan yang dianggap baik yang dapat memberikan kesuburan serta kemakmuran, antara lain hewan yang hidup di laut dan binatang ternak (kecuali keledai dan begal).
Diharamkan setiap binatang buas yang mempunyai gigi taring yang kuat untuk menerkam mangsanya, seperti anjing, babi, serigala, hewan melata, kucing, gajah, harimau, singa, kera dan hewan lainnya. Diharamkan juga memakan burung-burung yang mempunyai cakar, yaitu kuku yang kuat dan bisa melukai mangsanya, seperti elang, falcon, dan rajawali.
Diharamkan memakan setiap hewan yang disunnahkan untuk membunuhnya, seperti ular, kalajengking, burung gagak, burung rajawali, tikus, dan setiap hewan yang selalu menyebabkan mudarat.
Uraian makanan yang diharamkan : Segala macam serangga, yaitu hewan kecil yang melata di bumi, dan yang kecil ukurannya, seperti semut, kumbang, lalat, ular, cacing, kutu busuk, kutu rambut, kecoa, cicak, tokek, dan binatang lain sejenis. Selain itu, diharamkan hewan yang memiliki jarum dan bisa (sengatan), seperti lebah, tawon, kalajengking, dan lain-lain. Burung-burung yang diharamkan antara lain burung beo, burung merak, burung bangkai, bughatsah, burung layang-layang, dan kelelawar. Diharamkan segala sesuatu yang najis yang tidak mungkin disucikan, seperti zat cair yang terkena najis, dan diharamkan semua yang membahayakan tubuh, seperti bebatuan, tanah, kaca, racun. Opium (candu), dan lain-lain.
Uraian makanan yang dihalalkan : Dihalalkan burung unta, bebek, angsa, ayam, ayam hutan, burung merpati, dan semua jenis burung seperti burung bulbul, burung tiung, dan lain-lain. Dihalalkan segala sesuatu yang suci dan tidak membahayakan, tidak menjijikkan dan tidak dipandang kotor, seperti buah-buahan, teh, telur, roti, dan lain-lain. Dihalalkan air susu hewan yang dagingnya boeh dimakan.
Minuman yang diharamkan disebabkan karena membahayakan, mengandung najis, dan memabukkan, baik berupa khamar maupun selain khamar. Diharamkan pula mengosumsi zata aditif (narkoba) dengan segala macamnya dan bagaimanapun cara pengonsumsiannya karena pada zat aditif tersebut terdapat hal yang membahayakan akal dan tubuh, serta menyebabkan ketagihan. Pengecualian haramnya meminum khamar dan zat aditif, yakni karena dalam keadaan darurat, misal karena tersedak, dan karena untuk pengobatan yang dalam keadaan darurat (sedangkan zat memabukkan yang murni tidak mungkin menjadi obat), dan sebab untuk melakukan operasi tindakan pengobatan menggunakan zat aditif dalam keadaan darurat.
Mengonsumsi makanan yang halal dan baik berdasarkan perintah Allah Swt dalam Alquran :
Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithon, karena sesungguhnya syaithon itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Quran Surah Al Baqarah ayat 168)
Rasulullah Saw memberi peringatan melalui hadisnya :
Setiap daging (bagian tubuh) yang tumbuh dari barang yang haram, maka api nerakalah baginya”. (H.R At Tirmidzi)
Kriteria pengharaman beberapa jenis makanan :
1)      Makanan yang diharamkan secara Lidzaatihi : yaitu jenis makanan yang diharamkan karena secara zatnya diharamkan
2)      Makanan yang diharamkan secara Lighairihi : yaitu jenis makanan yang diharamkan karena cara mendapatkannya haram
Kaidah – kaidah dasar dalam hal Halal dan Haram (Saadiul al islam fii sya’nun al halal wal haram) :
1.       Asal dari segala sesuatu adalah boleh
2.       Persoalan halal dan haram itu adalah mutlak haknya Allah Swt
3.       Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram itu setara dengan perbuatan syirik
4.       Pengharaman sesuatu mengikuti tingkat kemudahan suatu hal/ segala sesuatu yang diharamkan pasti mengandung kemudharatan/ kekejian
5.       Segala sesuatu yang diharamkan pasti ada penggantinya yang setara
6.       Sesuatu yang menyebabkan seseorang jatuh pada perbuatan haram maka sesuatu tersebut dihukumi haram
7.       Sesuatu yang haram kemudian dibungkus sesuatu hukumnya tetap haram, sebagai misal pornografi dianggap seni, hukumnya tetap haram
8.       Niat yang baik tidak bisa menghalalkan sesuatu yang haram/ sesuatu yang haram hukumnya tidak bisa diubah hanya dengan niat yang baik
9.       Menjauhi hal-hal yang subhat
10.   Sesuatu yang darurat bisa menyebabkan sesuatu yang haram menjadi halal
Di Indonesia, kehalalan sebuah produk makanan dan minuman diberikan lisensi/ sertifikasi oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia. Lembaga LPPOM MUI yang mulai didirikan pada tanggal 6 Januari 1989, bertepatan dengan 26 Jumadil Awal 1409 H berdasarkan SK No. 18/MUI/1989. Lembaga ini dibentuk untuk membantu MUI dalam menentukan kebijaksanaan, merumuskan ketentuan-ketentuan, rekomendasi dan bimbingan yang menyangkut pangan, obat-obatan dan kosmetika sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain LPPOM MUI didirikan agar dapat memberikan rasa tentram pada umat, terkait produk yang dikonsumsinya. Oleh karenanya, bagi umat muslim, perlu waspada terhadap kehalalan produk makanan dan minuman yang beredar di pasaran dengan memperhatikan sertifikat halal yang ada pada produk makanan dan minuman. Saat ini untuk mengecek kehalalalan produk makanan dan minuman bisa lansgung mengakses portal www.halalmui.org. Selain daftar makanan yang telah bersertifikasi, di dalam portal online ini juga diuraikan fatwa-fatwa ulama mengenai halal haramnya makanan dan minuman seperti kopi luwak, kepiting, kelinci, vaksin, dan lain-lain.

Daftar pustaka :
  1. Buku “Fikih Manhaji” Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i Jilid 1. Dr. Musthafa al-Bugha. Dr. Musthafa al-Khann, Ali al-Syurbaji. Penerbit Pustaka Darul Uswah.
  2. Portal online www.halalmui.org milik Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
  3. Kajian Fiqih di Lembaga Pendidikan Insani Yogyakarta


BERSUCI ( THAHARAH )

BERSUCI ( THAHARAH )

                Bersuci secara etimologis berarti membersihkan diri dari kotoran. Apakah itu kotoran yang sifatnya indrawi seperti najis, ataupun kotoran yang bersifat maknawi seperti aib. Sementara itu menurut syara’, bersuci memiliki pengertian suatu perbuatan yang menyebabkan bolehnya melaksanakan shalat (atau hal lain yang hukumnya sama dengan shalat). Misalnya berwudhu (untuk orang yang belum berwudhu), mandi (bagi orang yang wajib mandi), serta membersihkan pakaian, badan, dan tempat.
                Keharusan bersuci ini menunjukkan bahwa islam sangat memerhatikan kesucian dan kebersihan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (Quran Surat Al Baqarah ayat 222). Dan pada hadisnya, Rasulullah Saw bersabda, “Bersuci itu separuh dari iman” (HR Bukhari), dalam hadis yang lain, “Ada lima kegiatan yang merupakan fitrah, yakni berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memendekkan kumis” (HR Bukhari Muslim).
Bersuci dengan Air
Ada empat macam air dalam kaitannya dengan bersuci, yaitu :
1)      Air suci menyucikan, yaitu air pada umumnya dan keadaannya masih seperti kali pertama diciptakan. Disebut pula air mutlak. Contoh : air sungai, air laut, air hujan, dan sebagainya
2)      Air suci menyucikan tapi makruh, yaitu air yang dijemur di bawah sinar matahari
3)      Air suci tak menyucikan, ada dua jenis, jenis pertama yakni air bekas pakai bersuci seperti mandi dan berwudhu. Sementara dalam kitab fiqih sunnah, air bekas pakai bersuci ini disebut air musta’mal dan disebut suci menyucikan.
Dan jenis kedua yakni air yang telah bercampur dengan zat-zat suci lain yang biasanya tidak terkandung dalam air, dan tidak mungkin lagi dipisahkan darinya. Contoh : air teh
4)      Air mutanajjis, yaitu air yang sudah kena najis. Imam Nawawi mengungkapkan. “Ibnu al Mundzir berpendapat, air dengan kadar yang sedikit ataupun banyak dan berubah rasa, warna, atau baunya karena tercampur najis, maka air tersebut menjadi air bernajis menurut ijmak para ulama”.
Air yang dapat digunakan untuk bersuci hanyalah air jenis pertama dan kedua, walupun jenis kedua makruh digunakan untuk fisik. Adapun jenis air yang ketiga tidak bisa dipakai bersuci, sekalipun suci zatnya yang menyebabkan tetap dapat dipakai untuk keperluan selain bersuci, misalnya keperluan minum, memasak, atau lainnya. Sementara itu, jenis air yang keempat, air mutanajjis, tidak bisa digunakan sama sekali.
Bersuci dari Najis
                Najis secara bahasa berarti segala hal yang menjijikkan. Menurut terminologi syara’, najis adalah hal yang menjijikkan yang menyebabkan shalat tidak sah. Contohnya, darah dan air seni. Ada banyak benda yang diangggap najis, diantaranya sebagai berikut :
a.       Khamar dan semua zat cair yang memabukkan
b.      Anjing dan babi
c.       Bangkai, kecuali jenazah manusia, bangkai ikan, dan bangkai belalang
d.      Darah cair termasuk nanah, kecuali hati dan limpa
e.      Kotoran dan air seni manusia dan binatang
f.        Semua bagian tubuh binatang yang putus dalam keadaan hidup, kecuali rambut dan bulu hewan yang biasa dikonsumsi dagingnya
g.       Susu binatang yang dagingnya tidak untuk dikonsumsi, seperti kedelai dan sejenisnya.
Najis yang masih dapat dilihat secara kasat mata disebut najis ‘aini, sedangkan najis yang sudah kering dan tidak terlihat lagi warna atau baunya disebut najis hukmi.
Benda-benda najis yang telah disebut di atas dikelompokkan menjadi najis berat, sedang dan ringan. Najis berat (mughallazhah), seperti anjing dan babi. Najis ini baru hilang setelah dibasuh dulu tujuh kali dengan air, dimana salah satunya dengan tanah. Sementara dalam kitab fiqih sunnah disebutkan pencucian yang pertama mesti menggunakan tanah.
Najis ringan (mukhaffafah), seperti air kencing bayi yang belum mengonsumsi apa-apa selain susu dan berusia di bawah dua tahun. Dalam kitab fiqih sunnah disebutkan kencing bayi laki-laki yang hanya meminum air susu. Cara menyucikannya, dengan memercikkan air disebar secara merata ke tempat yang kena najis, tanpa perlu mencucinya. Najis sedang (mutawassitah), yaitu najis selain kedua jenis di atas. Contohnya, air seni orang dewasa, kotoran hewan, dan darah. Cara menyucikannya dengan mencuci hingga najis berikut bekas-bekasnya hilang.
                Menyucikan kulit hewan selain anjing dan babi adalah dengan cara disamak. Menyamak adalah proses yang dapat menghilangkan kelembaban kulit yang dapat merusak dengan suatu zat, yang mudah terbakar dan berbau tajam sehingga jika terkena air tidak berbau dan rusak. Rasulullah Saw bersabda, “Jika kulit disamak, ia pun menjadi suci” (HR Muslim)
Adab Istinja
                Istinja artinya menghilangkan atau meminimalkan najis dari tempat keluarnya air seni atau kotoran. Beristinja hukumnya wajib. Istinja dapat dilakukan dengan air mutlak. Air merupakan alat bersuci paling utama dari najis. Disamping air, semua benda padat juga dapat menjadi alat untuk menghilangkan najis, seperti batu, kertas dan semacamnya. Orang yang buang hajat disunnahkan untuk mendahulukan kaki kirinya ketika masuk WC dan mendahulukan kaki kanannya ketika keluar, serta membaca doa baik sebelum masuk WC maupun setelah keluar, menjauhkan dan menyembunyikan diri dari penglihatan manusia dan agar tidak terdengar suara atau tercium baunya, tidak berbicara, dan tidak menghadap atau membelakangi kiblat jika ditempat terbuka, dan beristinja dengan menggunakan tangan kiri sementara tangan kanan menyiramkan air.
Bersuci dari hadas
                Hadas menurut syara’ adalah suatu kondisi yang dialami anggota tubuh yang mengakibatkan tidak sahnya shalat, atau hal lain yang sama hukumnya dengan shalat. Ada dua jenis hadas, yaitu : Hadas kecil yang dapat dihilangkan dengan berwudhu, dan hadas besar yang dapat dihilangkan dengan mandi.

Wudhu
                Alloh Swt berfirman dalam Quran Surah Al Maidah ayat 6 : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu da tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki”.
                Fardhu wudhu ada enam, yaitu : niat, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai ke siku, menyapu kepala, membasuh kaki sampai mata kaki, dan berurutan. Sedangkan sunnah dalam berwudhu antara lain :
a.       Membaca bismillah di awal wudhu
b.      Membasuh telapak tangan tiga kali
c.       Bersiwak / menggosok gigi
d.      Berkumur-kumur dan membersihkan hidung dengan air
e.      Menyela-nyela janggut yang lebat dengan jemari
f.        Menyapu seluruh kepala
g.       Menyela jemari tangan dan kaki
h.      Menyapu telinga bagian luar dan dalam
i.         Melakukan fardhu dan sunnah wudhu tiga kali – tiga kali
j.        Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
k.       Menggosok anggota tubuh dengan tangan
l.         Beriringan
m.    Melebihkan basukan pada bagian depan kepala, lengan di atas siku, dan bagian di atas mata kaki
n.      Hemat dan tidak boros menggunakan air
o.      Menghadap kiblat
p.      Tidak bicara saat berwudhu
q.      Berdoa ketika memulai wudhu dan membaca tasyahud dan berdoa usai berwudhu
Hal – hal yang dapat membatalkan wudhu :
a)      Benda apa pun yang keluar melalui kelamin dan anus, baik itu air seni, kotoran, darah atau angin
b)      Tidur pulas
c)       Hilangnya kesadaran yang disebabkan karena mabuk, pingsan, sakit atau gila
d)      Menyentuh istri atau lawan jenis yang bukan mahram, tanpa pelapis apa pun. Sementara dalam kitab fiqih sunnah disebutkan bahwa menyentuh perempuan tanpa pembatas tidak serta merta membatalkan wudhu
e)      Menyentuh alat kelamin atau dubur milik sendiri atau orang lain dengan telapak tangan dan jemari tanpa dilapisi apa pun.
Mandi
                Ada dua macam mandi, yaitu :
1.       Mandi wajib, yaitu mandi yang dilakukan karena sebab-sebab khusus yang menjadi prasyarat sahnya ibadah. Sebab-sebab itu adalah junub, haid, melahirkan dan meninggal. Dalam kitab fiqih sunnah juga disebutkan mandi wajib bagi orang kafir jika sudah masuk Islam.
2.       Mandi sunnah, yaitu mandi yang tanpa melakukannya shalat tetap sah. Meski demikian, dalam tertentu syara’ sangat menganjurkan mandi. Contoh : mandi sebelum shalat jumat, mandi hari raya, mandi shalat gerhana, mandi shalat istisqa, mandi setelah memandikan jenazah, mandi dalam rangkaian prosesi haji.
Fardhu mandi ada dua, yaitu berniat ketika memulai mandi, dan membasuh semua permukaan kulit dan rambut dengan air serta memastikan sampainya air ke akar rambut. Sedangkan sunnah mandi antara lain : membasuh tangan, menggosok badan, berwudhu, menyisir rambut dan membasuh kepala, dan mendahulukan membasuh bagian tubuh sebelah kanan daripada sebelah kiri.
Tayammum
                Tayammum berarti mengusapkan tanah suci ke wajah dan dua tangan dengan niat dan cara tertentu. Tayammum berkedudukan sebagai pengganti wudhu atau mandi disebabkan ketiadaan air, atau letaknya terlalu jauh atau karena sedang menderita suatu penyakit yang tidak boleh terkena air. Alloh Swt berfirman : “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu”  (Quran Surah Al Maidah ayat 6).
                Syarat – syarat tayammum, antara lain : mengetahui dengan pasti bahwa shalat sudah masuk, sudah berusaha terlebih dahulu mencari air begitu masuk waktu shalat, tanah yang digunakan adalah tanah yang suci, bukan debu berpasir atau berbentuk bubuk halus, menghilangkan najis terlebih dahulu, dan terlebih dahulu menghadap kiblat. Rukun tayammum ada empat, yaitu berniat, menyapu wajah dan menyapu kedua tangan sampai siku dengan dua kali menepuk tanah, serta berurutan.  

Daftar pustaka :
  1. Buku “Fikih Manhaji” Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i Jilid 1. Dr. Musthafa al-Bugha. Dr. Musthafa al-Khann, Ali al-Syurbaji. Penerbit Pustaka Darul Uswah.
  2. Buku “Fiqih Sunnah” Jilid 1. Sayyid Sabiq. Penerbit Pena.



Jumat, 16 Juni 2017

ZAKAT FITRAH

ZAKAT FITRAH

Zakat fitrah wajib hukumnya atas kaum muslimin, baik orang dewasa, anak-anak, laki-laki, perempuan, orang merdeka, dan budak dari kalangan orang muslim. Abdullah Ibnu Umar r.a mengatakan :
Rasululullah Saw telah memfardhukan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa dari kaum muslim” (HR Bukhari Muslim).
Adapun jenis benda yang dikeluarkan untuk zakat fitrah ialah makanan pokok manusia sepeti kurma, gandum, beras, anggur kering (kismis), susu kering, dan lainnya. Satu sha’ sama dengan 2 2/15 kg. Zakat fitrah ditunaikan pada bulan Ramadhan hingga sebelum dilaksanakannya shalat ‘Ied.

Hikmah diwajibkannya zakat fitrah sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw :
Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari laghwu (perbuatan sia-sia) dan perkataan kotor, dan untuk memberi makan orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang menunaikan zakat fitrah ini sebelum menunaikan shalat ‘Ied, maka yang dikeluarkannya itu adalah zakat fitrah yang diterima (dikabulkan). Dan barangsiapa mengeluarkannya setelah shalat ‘Ied maka yang dikeluarkan itu (nilainya) sebagai sedekah dari sedekah-sedekah (biasa).” HR Abu Daud dan Ibnu Majah.

Zakat fitrah merupakan wujud perbuatan ihsan kepada orang-orang fakir, mencegah mereka dari meminta-minta pada hari raya dan agar mereka dapat bersama-sama menikmati kesenangan dan kegembiraan hari raya pula.


ILMU FIKIH

ILMU FIKIH

                Kata fikih (fiqh) mempunyai dua arti; arti menurut bahasa dan arti terminologi. Secara bahasa, fikih berarti faham. Kata faqiha – yaqfahu sama artinya dengan kata fahima – yafhamu. Ini terlihat dalam firman Allah Swt :
Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun) ? (Quran Surah An Nisa ayat 78)
Tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka” (Quran Surah Al Isra’ ayat 44)
Rasulullah Saw bersabda, “Memperlama shalat Jum’at dan memperpendek khutbah adalah salah satu tanda kefakihan seseorang” (HR Muslim).
                Adapun secara terminologi, fikih memiliki dua makna. Pertama, fikih sebagai ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang mengatur tindak tutur dan tingkah laku manusia, disarikan dari dalil-dalil detail syar’i, yaitu nash-nash dari AlQuran dan Sunnah, serta ijmak dan ijtihad yang berdasarkan pada AlQuran dan Sunnah.  Contoh dari pengertian ini adalah pengetahuan kita tentang wajibnya niat dalam berwudhu, yang disimpulkan dari sabda Nabi Muhammad Saw, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya” (HR Bukhari dan Muslim).
                Kedua, fikih berarti hukum syar’i itu sendiri. Contohnya hukum wudhu, hukum shalat, hukum jual beli, dan sebagainya. Fikih Islam meliputi semua aspek hukum yang diperlukan oleh umat manusia. Ia mengurusi segala hal yang bersentuhan langsung dengan kehidupan seseorang, baik secara pribadi maupun dalam bermasyarakat.
                Kitab-kitab fikih yang memuat berbagai produk hukum bersumber dari AlQuran, Sunnah, ijmak dan ijtihad pada ulama. Ada beberapa jenis hukum ini antara lain :
1)      Ibadah : hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah seperti wudhu, shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya
2)      Ahwal syakhshiyyah : hukum yang mengatur masalah keluarga seperti pernikahan, perceraian, nasab dan persusuan, nafkah dan warisan, dan sebagainya
3)      Mu’amalah : hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan pergaulan dengan sesama, seperti jual beli, gadai dan sewa, tuduhan dan bukti, peradilan, dan sebagainya
4)      Ahkam sulthaniyyah atau Siyasah syar’iyyah : hukum yang mengurus masalah kewajiban seorang pemimpin, seperti keharusan menegakkan keadilan, mencegah kezaliman, penerapan hukum, kewajiban warga negara seperti taat dalam hal yang bukan maskiat dan sebagainya
5)      Uqubat : hukum yang membahas soal hukuman, contohnya hukuman terhadap pelaku pembunuhan, pelaku pencurian, peminum minuman keras, dan sebagainya. Disebut juga dengan istilah jinayah.
6)      Siyar : hukum yang mengatur tentang hubungan antarnegara, seperti aturan perang-damai dan sebagainya
7)      Adab wa akhlaq : hukum yang berkaitan dengan perilaku dan budi pekerti, kesopanan dan ketidaksopanan, dan sebagainya.
Fikih bersumber dari AlQuran, Sunnah, ijmak dan qiyas. Yang dimaksud dengan ijmak berarti kesepakatan semua ulama mujtahid terhadap suatu hukum syar’i. Contohnya para sahabat Nabi Muhammad Saw berijmak bahwa seorang kakek berhak memperoleh seperenam dari harta warisan cucunya apabila yang hidup hanya anak laki-laki dari almarhum, sedangkan ayah almarhum telah tiada. Qiyas pengertiannya adalah menganalogikan suatu perkara yang tidak ada hukum sya’inya dengan hal lain yang ditetapkan hukumnya oleh nash. Hal ini bisa terjadi dengan adanya kesamaan illat antara keduanya. Contohnya haramnya minuman keras yang bersifat memabukkan serupa khamar.
Allah Swt mengharuskan kaum Muslimin untuk mengikuti hukum-hukum fikih dalam setiap aktivitas kehidupan dan dalam hubungan dengan sesama secara konsekuen. Allah Swt berfirman :
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin” (Quran Surah Al A’raf ayat 3)
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (Quran Surah An Nisa ayat 65)
Istilah – istilah dalam fikih
                Fardhu yaitu apa yang diperintahkan syariat secara tegas. Mengerjakannya berpahala dan meninggalkannya mengundang datangnya hukuman. Contohnya adalah puasa.
                Wajib, wajib menurut Imam Syafi’i memiliki pengertian yang sama persis dengan fardhu. Tidak ada perbedaan arti sama sekali antara keduanya, kecuali dalam masalah ibadah haji. Wajib haji adalah segala sesuatu yang tidak berkenaan langsung dengan sahnya haji. Dengan kata lain, meninggalkannya tidak menyebabkan haji menjadi tidak sah dan menjadi batal, namun harus membayar fidyah.
                Fardhu ada dua jenis, yaitu fardhu ‘ain (kewajiban yang mesti dilakukakn oleh setiap individu mukalaf, seperti sholat, puasa, dll), dan fardhu kifayah (kewajiban secara bersama-sama atau kolektif, seperti menyelenggarakan dan menshalatkan jenazah)
                Rukun ialah sesuatu yang wajib kita kerjakan dan menjadi bagian dari amal, contohnya rukuk dan sujud dalam shalat. Sedangkan syarat ialah sesuatu yang wajib dikerjakan, tapi bukan bagian dari perbuatan amal bersangkutan, melainkan pendahuluannya saja, seperti menghadap kiblat ketika akan shalat.
                Mandub atau sunnah, yaitu perbuatan yang tidak secara tegas dituntut oleh syara’ untuk dilakukan. Mengerjakannya akan mendatangkan pahala, tapi meninggalkannya tidak mengundang hukuman. Contohnya shalat dhuha, puasa enam hari di bulan Syawal, dan sebagainya.
                Mubah adalah perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditingggalkan karena syara’ tidak meminta kita untuk meninggalkan atau mengerjakannya.
                Haram adalah susuai yang diminta oleh syara’ secara tegas untuk kita tinggalkan, sedangkan mengerjakannya akan mengundang hukuman. Contohnya adalah membunuh.
                Makruh, ada dua jenis makruh yaitu makruh tahrimiy dan makruh tanzihiy. Makrum tahrimy adalah perbuatan yang diminta oleh syara’ secara tegas untuk ditinggalkan, tapi derajatnya masih di bawah haram. Contohnya shalat sunnah mutlak yang dikerjakan ketika matahari terbit atau terbenam. Sedangkan makruh tanzihiy adalah perbuatan yang tidak tegas-tegas diminta oleh syarat untuk ditinggalkan. Contohnya berpuasa hari arafah bagi jamaah haji, tidak berpuasa demi mengamalkan perintah agama menimbulkan pahala, tapi berpuasa juga tidak ada hukumannya.
                Qadha ialah mengerjakan ibadah di luar waktu yang telah ditentukan syara’. Contohya, mengerjakan puasa ramadhan bukan pada bulan ramadhan (usai ramadhan) tersebab uzur sakit, dan sebagainya. Sedangkan Ada’ ialah melaksanakan ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh syara’.      I’adah ialah mengulang kembali suatu ibadah pada waktunya berharap tambahan pahala.
                Ada beberapa kitab fikih dari imam-imam mazbab yang sampai saat ini menjadi rujukan kaum muslimin yaitu :
1.       Mazhab Imam Syafi’I : Al majmu’ syarhu al muhadzdzab
2.       Mazhab Hambali  : Al mughonna, Ibnuu Qidamah al muqdas
3.       Mazhab Maliki : Bidayatu al mujtahid wa nihayatu al muqtashid, Ibnu Rusyd
4.       Mazhab Hanafi : Al Mudawwanatu al kubra

Daftar pustaka :

  1. Buku “Fikih Manhaji” Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i Jilid 1. Dr. Musthafa al-Bugha. Dr. Musthafa al-Khann, Ali al-Syurbaji. Penerbit Pustaka Darul Uswah.
  2. Kajian Ilmu Fikih Lembaga Pendidikan Insani Yogyakarta 

MENUNAIKAN ZAKAT

MENUNAIKAN ZAKAT

Allah Swt berfirman :
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS Al Bayyinah ayat 5)
...dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)-nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya....” (QS Al Muzammil ayat 20)
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (QS Ar Rum ayat 39)
Rasulullah Saw bersabda :
Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu mentauhidkan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan haji.” (H.R Muslim)
                Zakat merupakan salah satu rukun dan bangunan Islam yang fundamental. Penyebutannya selalu diiringkan dengan penyebutan shalat dalam beberapa ayat Al Quran. Dan kaum muslimin telah sepakat akan kewajiban berzakat ini. Barangsiapa yang mengingkari kewajiban ini padahal ia mengetahuinya, maka kafirlah ia, keluar dari Islam; dan barangsiapa yang bersifat bakhil dan mengurangi ukurannya, maka ia termasuk orang yang zalim yang menyediakan dirinya untuk disiksa olehNya.
                Kata zakat berasal dari bahasa Arab zaka asy-syai’u yazku yang berarti bertambah dan bertumbuhnya sesuatu. Dalam ungkapan dikatakan zaka az-zar’u ‘tanaman telah tumbuh’, atau zakat at-tijarah ‘perniagaan semakin berkembang’. Selain itu, kata zakat juga bermakna ath-thaharah ‘penyucian’ sebagaimana firman Allah Swt dalam AlQuran surat Asy-Syams ayat 9 : “Sungguh beruntunglah orang yang telah menyucikan (jiwanya).”
                Dalam terminologi syariat Islam, zakat didefinisikan sebagai sejumlah harta yang diambil dari jenis-jenis harta tertentu yang wajib diserahkan kepada golongan tertentu pula, dengan syarat-syarat dan ketentuan tertentu. Harta tersebut disebut zakat karena harta yang asalnya akan menjadi semakin berkembang berkat dikeluarkannya sebagian harta tersebut, ditambah dengan doa dari orang-orang yang menerimanya. Selain itu, harta tersebut juga menjadi sarana penyucian bagi segenap harta yang tersisa dari noda-noda syubhat, yakni ketika harta tersebut diserahkan kepada orang-orang yang berhak terhadapnya, dengan cara-cara tertentu, terutama bagi mereka yang amat membutuhkan dan miskin.
                Syarat wajib zakat yaitu beragama Islam, memiliki harta yang mencapai nisab, dan kepemilikan terhadap harta tersebut mencapai haul (satu tahun qamariah). Nisab adalah batas minimal yang menjadi patokan wajibnya zakat pada harta.
Jenis Harta Yang Diwajibkan Zakat
                Harta yang dikenakan kewajiban zakat adalah harta yang sifatnya dapat bertumbuh kembang.  Zakat diwajibkan pada empat macam harta benda yaitu sebagai berikut :
1.       Hasil bumi yang berupa biji-bijian dan buah-buahan, berdasarkan firman Allah Swt :
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu...” (QS Al Baqarah ayat 267)
... dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)... “ (QS Al An’am ayat 141)
Dan sabda Rasulullah Saw : “Pada hasil-hasil pertanian yang dialiri air hujan atau air sungai zakatnya sepersepuluh (1/10), dan hasil pertanian yang disirami sendiri zakatnya seperdua puluh (1/20)” (HR Bukhari)
Pada hadits riwayat Muslim : “Tidak wajib zakat pada biji-bijian dan buah-buahan sehingga mencapai lima wasaq”.
Menurut Ensiklopedi Islam disebutkan, satu sha’ sama nilainya dengan 3 liter. Karena itu, 1 wasaq sama dengan 180 liter. Nisab hasil tanaman dan buah-buahan adalah 900 liter. Dalam hitungan berat kilogram dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), 5 wasaq didefiniskan sama dengan 652,8 kg.
Yang wajib dizakati hanyalah tanaman yang biasa dijadikan makanan pokok oleh manusia, serta tidak rusak jika disimpan untuk jangka waktu tertentu, antara lain : kurma, anggur, biji gandum, biji jelai (gandum barley), beras, kacang adas, kacang himsh, jagung, dan lain sebagainya.

2.       Binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan biri-biri, apabila mencari makanan sendiri dan disiapkan untuk dikembangbiakkan serta telah mencapai nisab. Adapun ukuran minimal nisab unta ialah 5 (lima) ekor, sapi 30 ekor, dan kambing (biri-biri) 40 ekor.
Yang dimaksud dengan saimah (digembalakan / mencari makan sendiri) yaitu ternak yang sepanjang tahun – atau dalam setahunnya lebih banyak – makan rumput sendiri pada rerumputan yang bukan tanaman manusia. Bila bukan saimah (bila diberi pakan) maka tidak ada zakatnya, kecuali jika untuk diperdagangkan, yang demikian keadaannya sebagaimana dengan barang dagangan yang wajib dizakati.
Perhitungan zakat untuk masing-masing tipe hewan ternak, baik nisab maupun kadarnya berbeda-beda dan sifatnya bertingkat. Sedangkan haulnya yakni satu tahun untuk tiap hewan.

3.       Emas dan Perak
Allah Swt berfirman :
... Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS At Taubah ayat 34 – 35)
Yang dimaksud dengan menyimpan atau menimbunnya disini ialah tidak menginfakkannya di jalan Allah, sedangkan infak yang paling besar di jalan Allah ialah dengan mengeluarkan zakatnya.
Emas dan perak itu wajib dikeluarkan zakatnya, baik yang berupa mata uang, emas urai, perhiasan yang dipakai atau tidak, ataupun yang lainnya berdasarkan keumuman dalil yang mewajibkan zakat padanya.
Emas wajib dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai nisabnya, yaitu dua puluh dinar atau sama dengan 85 gram. Sedangkan perak dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai nisab sebesar lima uqiyah atau 200 dirham. Adapun banyaknya zakat emas dan perak ialah seperempat puluh (1/40 atau 2,5 %).
Selain itu, diwajibkan pula zakat pada uang bila nilainya sudah mencapai nisab emas dan perak, baik uang tersebut ada pemiliknya ataupun dalam tanggungan orang lain (piutang).

4.       Barang perniagaan, yaitu semua barang yang diperdagangkan baik berupa perabotan rumah tangga, binatang, makanan, minuman, kendaraan, dan semua jenis harta yang dapat diperdagangkan. Barang-barang tersebut harus dihitung tiap-tiap tahun dan dikeluarkan zakatnya seperempat puluhnya (1/40 atau 2,5%) dari harganya.
Dalam bukunya yang berjudul Majelis Ramadhan, Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa tidak wajib zakat pada barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, minuman, tempat tidur, rumah, binatang, kendaraan, dan pakaian kecuali perhiasan emas dan perak. Selain itu, juga tidak wajib zakat pada barang-barang yang diterima seseorang sebagai upah kerjanya dari tempat ia bekerja, baik berupa perabot rumah tangga, kendaraan atau lainnya, tetapi ia wajib mengeluarkan zakatnya apabila upah tersebut berupa uang dengan syarat sudah sampai setahun dan mencapai satu nisab, baik upah yang diterimanya sekali itu maupun dengan dihimpun bersama upah-upah lainnya.
Di dalam Buku Fikih Manhaji kitab fikih Imam Syafi’i, juga menjelaskan mengenai hukum barang tambang (ma’din) dan harta terpendam (rikaz). Dalam salah satu hadits Rasulullah Saw bersabda, “Harta terpendam harus dizakati seperlimanya” (H.R Bukhari dan Muslim).
Di Indonesia, pemerintah membentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) pada tingkat nasional. Selain jenis harta zakat yang telah diuraikan di atas, Baznas juga mengklasifikasikan jenis-jenis zakat, antara lain : zakat peternakan, zakat pertanian, zakat emas perak dan uang, zakat perniagaan, zakat atas madu, zakat harta galian, zakat profesi, dan zakat saham dan obligasi.
Zakat profesi adalah zakat atas penghasilan yang diperoleh dari pengembangan potensi diri yang dimiliki seseorang dengan cara yang sesuai syariat, seperti upah kerja rutin, profesi dokter, pengacara, arsitek, dan lain-lain. Dari berbagai pendapat dinyatakan bahwa landasan zakat profesi dianalogikan kepada zakat hasil pertanian yaitu dibayarkan ketika mendapatkan hasilnya, demikian juga dengan nisabnya yaitu sebesar 524 kg makanan pokok, dan dibayarkan dari pendapatan kotor. Sedangkan tarifnya adalah dianalogikan kepada zakat emas dan perak yaitu sebesar 2,5 %, atas dasar kaidah “Qias Asysyabah”.
Zakat Saham dan Obligasi adalah zakat yang wajib dikeluarkan atas kepemilikan surat berharga, termasuk diantaranya obligasi, reksadana dan saham bursa efek. Periode Haul yaitu setelah dimiliki 1 tahun. Sedangkan nisabnya adalah 85 gram emas. Zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5 %.
Mekanisme Pembayaran Zakat
                Apabila suatu harta telah mencukupi nisab atau lebih, dan telah punya cukup haul, maka pada saat itu juga zakat diwajibkan, dan si pemilik harta harus segera mengeluarkan zakat hartanya tersebut kepada orang yang berhak menerimanya sesegera mungkin. Begitu pula bila orang yang berzakat mewakilkan pembayaran zakatnya melalui pihak lain, seperti yayasan atau lembaga zakat, maka ia pun tidak boleh menunda-nunda menyerahkan harta zakat itu kepada orang yang berhak menerimanya.
                Dalam AlQuran, Allah Swt telah menyebutkan orang-orang yang berhak menerima zakat, yaitu delapan ashnaf ‘golongan’. Allah Swt berfirman :
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Q.S At Taubah ayat 60).
                Orang-orang fakir (alfuqara’) yaitu orang yang tidak memiliki harta sekadar untuk mencukupi makanan, pakaian dan tempat tinggalnya. Orang-orang miskin (al-masakin) yaitu orang yang memiliki harta yang dapat menutupi kebutuhannya, tetapi tidak mencukupi. Para amil zakat yaitu petugas yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Mualaf yaitu orang yang baru masuk Islam yang dengan zakat itu diharapkan semakin teguh keislamannya. Arriqab yaitu dalam rangka memerdekakan hamba sahaya. Algharimun yaitu orang-orang yang terlilit utang dan tidak mampu melunasinya. Fisabilillah yaitu orang yang berjuang secara sukarela dalam jihad demi membela agama Islam. Ibnu sabil yaitu para musafir yang sedang dalam perjalanan yang dibolehkan ataupun yang baru akan melakukan perjalanan.
                Syarat mustahiq (penerima zakat), yaitu beragama Islam, tidak memiliki penghasilan (bagi fakir miskin), bukan orang yang menjadi tanggungan muzaki (pemberi zakat), seperti ayah, ibu atau keluarganya sendiri, bukan berasal dari Bani Hasyim atau Bani Muthalib beserta keturunannya.
Hikmah dan Faedah Zakat
Banyak sekali hikmah dan faedah yang diperoleh dari zakat, beberapa diantaranya sebagai berikut :
1)      Dengan berzakat, seseorang dapat terbiasa berlaku dermawam dan murah hati, dan jiwanya terbebas dari sifat pelit dan bakhil
2)      Zakat akan semakin menguatkan ikatan persaudaraan dan kasih sayang
3)      Zakat akan menjamin tercukupinya kebutuhan hidup pribadi dan masyarakat dan dapat membuang sekat-sekat perbedaan sosial
4)      Zakat dapat memberantas penggangguran dan kemisikinan
5)      Zakat adalah sarana untuk menyucikan hati manusia agar terhindar dari sifat dendam dan dengki
Allah Swt berfirman : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan mereka” (QS At Taubah ayat 103)

Daftar pustaka :

  1. Buku “Fikih Manhaji” Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i Jilid 1. Dr. Musthafa al-Bugha. Dr. Musthafa al-Khann, Ali al-Syurbaji. Penerbit Pustaka Darul Uswah.
  2. Buku “Majelis Ramadhan”. Syekh Muhammad Bin Shalih Utsaimin. Penerbit Gema Insani Press.
  3. Portal Resmi Badan Amil Zakat Nasional www.pusat.baznas.go.id

Selasa, 06 Juni 2017

Bagaimana Memahami Hadis Nabi Muhammad SAW

Bagaimana Memahami Hadis Nabi Muhammad SAW


Hadits secara bahasa berarti sesuatu yang baru. Hadits juga berarti mimpi/ takwil mimpi, dan juga berarti kisah (contoh : haditsu musa” bermakna “kisah Musa”). Hadits secara istilah berarti apa – apa yang disandarkan/ diisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw , baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir/ persetujuan (atau semacam itu dari ketiganya).
Hadits berupa perkataan disebut hadits qouliyah, Hadits berupa perbuatan disebut hadits fi’liyah, Hadis berupa persetujuan atau diamnya Nabi terhadap sesuatu disebut hadits taqririyah. Ada pula sebagian ulama’ yang menambahkan hadits hammiyah, yakni hadits yang berupa hasrat atau keinginan Nabi untuk melakukan sesuatu. Contoh hadits qouliyah : Hadits : Qola Rasulullah Saw : Innamal a’amalu binniyyat. Contoh hadits fi’liyah : Tata cara sholat “Shollu kama roaitumuni usholli”; Manasik haji. Contoh hadits taqririyah : Mudhorobah/ memakai harta orang lain untuk berdagang atau berusaha. Mudhorobah sudah ada sejak zaman jahiliyah. Rasululloh Saw membiarkan mudhorobah ini dilakukan oleh umat muslim, Diperbolehkannya wanita menuntut ilmu, Penggunaan mata uang asing, Dalam hal fiqih, yakni fiqh ibadah sholat, sholat rawatib dua rakaat sebelum magrib dilakukan oleh sahabat dan dibiarkan/ didiamkan oleh Nabi Saw.
Hadits ditinjau dari segi kredibilitas / kekuatan hukumnya dibagi menjadi :
Ø  Hadits shohih, dengan criteria :
Perawi harus adil, yang juga berarti takwa, Isi/ matannya tidak ilat/ cacat, Perowinya dhobit/ hafalannya sempurna, Hadits tesebut harus bersambung sanadnya sampai kepada Nabi Saw.
Ø  Hadits dhoif/ lemah
Ø  Hadits hasan (dikenalnya istilah hadits hasan ini pada zaman imam tirmidzi)
Kriteria hadits Shohih :
-          Perawi harus adil, yang juga berate takwa
Perawi adalah orang yang menyampaikan hadits
Perowi berakhir pada zaman 3 H yakni zaman Imam Bukhori, Imam Muslim, dll
-          Isi/ matannya tidak ilat/ cacat
-          Perowinya dhobit/ hafalannya sempurna
-          Hadits tesebut harus bersambung sanadnya sampai kepada Nabi Saw


Kedudukan As Sunnah (Hadits Nabi Saw) dalam Islam
As Sunnah merupakan penafsiran Al quran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Pribadi Nabi Muhammad Saw adalah perwujudan dari Al quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari – hari. “Akhlaknya (Nabi Saw) adalah Al qur an” (Hadists riwayah Muslim).
Kedudukan As Sunnah ada tiga, yakni :
1.      Sebagai manhaj yang komprehensif (Syumuliyatul Manhaj)
Manhaj Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dalam dimensi “panjang”, “lebar”, dan “dalam” nya. Panjang adalah rentangan waktu secara vertikal kehidupan manusia, sejak saat kelahiran sampai kematiannya. Lebar adalah rentangan horizontal seluruh aspek kehidupan manusia dalam bermuamalah. Dalam berarti dimensi yang berkaitan dengan kedalaman kehidupan manusia, yaitu mencakup tubuh, akal dan ruh, meliputi lahir batin, dsb.
2.      Manhaj yang Seimbang (Washatiyatul manhaj)
Keseimbangan antara ruh dan jasad, antara akal dan kalbu, antara dunia dan akhirat, antara teori dan praktik, antara kebebasan dan tanggung jawab, dsb.
Surat AlBaqoroh ayat 143 menjelaskan tentang umat islam merupakan umat yang berada di “tengah-tengah”. Karenanya, Nabi Muhammmad Saw mengingatkan para sahabatnya yang berlaku berlebihan untuk berlaku seimbang. Tatkala Rasulullah Saw melihat Abdullah bin ‘Amr berlebih-lebihan dalam berpuasa, ber-qiyamul lail dan ber-tilawat Al Qur an , Rasulullah Saw memerintahkan nya agar melakukan semua itu dengan sedang-sedang saja, tidak berlebih-lebihan. Sabda beliau yang artinya :
Sungguh badanmu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk beristirahat), matamu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk tidur), isterimu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk disenangkan hatinya dan dipergauli dengan baik), dan para tamumu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk dihormati dan diajak berbincang), maka berikan hak-hak itu kepada masing-masing.” (HR Bukhari dalam Bab Puasa).
3.      Manhaj Memudahkan (Taisyiriyatul Manhaj)
Diantara cirri-ciri lainnya dari manhaj ini adalah keringanan, kemudahan, dan kelapangan. Muslim meriwayatkan hadits Rasulullah Saw : Sesungguhnya Allah Swt tidak mengutusku sebagai seorang yang mempersulit atau mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi aku diutus oleh-Nya sebagai pengajar dan pembawa kemudahan.
Dan ketika Rasulullah Saw mengutus Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepada mereka berdua dengan sebuah pesan yang ringkas namun padat : Permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah mereka dan jangan menyebabkan mereka menjauh, dan berusahalah kalian bedua untuk senantiasa bersepakat dan jangan bertengkar. (HR Bukhori Muslim).

Kewajiban Kaum Muslimin terhadap As Sunnah
è Memahami manhaj nabawi yang terinci ini dengan sebaik – baiknya dan berinteraksi dengannya dalam aspek hukum dan moralnya.
Karena sekarang ini terjadi krisis pemahaman umat muslim terhadap sunnah Nabi Saw.
Tiga penyakit yang harus dihindari oleh umat muslim sebagaimana dipesankan Nabi Saw dalam salah satu sabdanya, yakni :
1.      Penyimpangan kaum ekstrem
Sikap berlebihan /ekstrem dalam agama. Telah diriwayatkan dari Ibn Abbas, dari Nabi Saw :
Jangan sekali-kali kamu sekalian bersikap berlebihan (ghuluw) dalam agama. Sebab, sikap seperti itulah yang telah membinasakan orang-orang dahulu sebelum kamu”.
2.      Manipulasi orang sesat
Pemalsuan atau manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang sesat, membuat sesuatu yang diada-adakan yang pada hakikatnya bertentangan dengan watak aslinya, tak dapat diterima oleh akidah maupun syariatnya, dan bahkan tidak dikehendaki sama sekali oleh ushul (pokok-pokok ajaran) dan furu’ (cabang-cabang)nya.
3.      Penafsiran orang-orang jahil
Ada pula panafsiran yang buruk, yang merusak hakikat agama Islam, menyelewengkan konsep-konsepnya dan mencoba mengurangi integritasnya. Penafsiran yang buruk dan pemahaman yang lemah dan keliru ini merupakan ciri orang-orang jahil yang tidak mengerti Islam dan tidak mampu meresapi jiwa atau semangatnya.

Prinsip – prinsip dasar dalam berinteraksi dengan Assunnah Annabawiyah
Pertama, meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadits yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapan oleh para pakar hadits yang dipercaya.
Kedua, dapat memahami dengan benar nash-nash yang berasal dari Nabi Saw sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadits tersebut serta sebab wurud (diucakannya) oleh beliau.
Ketiga, memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari Al quran, atau hadits-hadits lain yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih shahih darinya, atau lebih sejalan dengan ushul.

Daftar Pustaka :

1.      Buku “Bagaimana Memahami Hadis NAbi SAW : Kaifa nata’amalu ma’a as shunnah. Karya DR. Yusuf Qardhawi. Penerjemah : Muhammad Al Baqir. Penerbit Karisma