Rabu, 26 Juli 2017

Lima Hal yang sering ditanyakan mengenai Shalat

Lima Hal yang sering ditanyakan mengenai Shalat

Di dalam pembahasan fiqih ibadah, dalam hal ini fiqih shalat, sering ditemukan pertanyaan-pertanyaan terkait adanya perbedaan di dalam masyarakat mengenai tata cara/ fiqih sholat dalam masyarakat. Sayyid Sabiq di dalam karyanya Fiqih Sunnah, yang sering dijadikan pedoman para ulama’ dan tabi tabi’in, menguraikan perkara-perkara tersebut dengan menjelaskan adanya perbedaan pemikiran dalam beberapa mazhab dan dalil-dalil yang menjadi dasarnya. Berikut kami sampaikan lima hal yang sering ditanyakan mengenai fiqih shalat :

1.       Membaca Bismillah pada saat berdiri shalat
Para ulama sepakat bahwa basmalah/ bismillahirrohmanirrohim merupakan bagian ayat dalam surat AnNaml. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat mengenai basmalah yang terdapat pada setiap permulaan surah. Perselisihan pendapat mereka terbagi kepada tiga pemikiran/ mazhab yaitu :
Pertama, ia merupakan termasuk ayat dari al-Fatihah dan dari setiap permulaan ayat. Oleh sebab itu, membaca basmalah dalam surah al-Fatihah adalah wajib, baik ketika dibaca secara perlahan maupun dibaca dengan suara kuat. Alasan terkuat mazhab ini adalah hadits Na’im al-Mujammir yang berkata,
Saya mengerjakan shalat di belakang Abu Hurairah. Lalu ia membaca ‘Bismillahirrohmanirrohim’. Setelah itu, ia membaca Ummul Quran. Demikianlah seterusnya, dimana akhirnya Abu Hurairah mengatakan, ‘Demi Tuhan yang telah menguasai diriku! Shalatku ini adalah cara shalat yang biasa dikerjakan Rasulullah Saw.” (HR An Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Menurut Hafizh dalam kitab Fat-hul Bari, hadits ini merupakan hadits paling sahih yang menyatakan bacaan basmalah dengan suara yang keras.
Kedua, ia merupakan suatu ayat yang berdiri sendiri yang diturunkan untuk mengambil berkah dan sebagai pemisah di antara surah-surah lainnya. Di samping itu, membaca basmalah pada setiap kali membaca al-Fatihah adalah sunnah. Dan seseorang yang membacanya tidak disunnahkan menggunakan suara yang keras. Hal ini didasarkan hadits Anas r.a yang berkata,
Aku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw dan di belakang Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka tidak membaca bismillahirrahmanirrahim dengan suara yang kuat.” (HR An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Thawawi dengan sanad atas syarat Bukhari dan Muslim).
Ketiga, ia tidak termasuk bagian dari al-Fatihah atau surah-surah lainnya. Seseorang yang membaca basmalah adalah dimakruhkan, baik dengan suara perlahan maupun suara kuat, baik dalam shalat fardhu maupun dalam sunnah. Mazhab ini tidak kuat.
Ibnul Qoyyim telah memberikan komentar terhadap mazhab yang pertama dan yang kedua, katanya, “Kadang-kadang Nabi Saw membaca bismillahirrohmanirrohim dengan suara yang keras, tetapi beliau sering membacanya dengan suara perlahan. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa beliau tidak selamanya membaca basmalah dengan suara keras, yakni sebanyak lima kali pada tiap siang dan malam, pada waktu bermukim maupun ketika bermusafir, ...”  

2.       Tempat Menaruh kedua tangan / bersedekap saat berdiri shalat
Kamal bin Hammam mengatakan, “Tidak ada hadis shahih yang mewajibkan meletakkan tangan di bawah dada, maupun di bawah pusat. Kebiasaan yang dilakukan di kalangan pengikut Hanafi adalah meletakkan tangan di bawah pusar. Pengikut mazhab Syafi’i meletakkannya di bawah dada, sedangkan terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari Ahmad, yaitu meletakkannya di bawah pusar dan di bawah dada. Pendapat yang benar adalah boleh melakuka kedua-duanya. Menurut Tirmidzi, para sahabat Nabi Saw dan tabi’in, berpendapat laki-laki harus menaruh tangan kanan di atas tangan kirinya diwaktu mengerjakan shalat. Akan tetapi, ada sebagian di antara mereka yang meletakkannya di sebelah atas pusar, sedangkan sebagiannya lagi berpendapat, meletakkannya di sebelah bawah pusar. Semua cara tersebut pernah dilakukan sebagian sahabat dan tabi’in.”
Namun demikian, terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Saw meletakkan kedua tangannya di atas dada. Hulb ath-Thai berkata, “Saya melihat Nabi Saw menaruh tangan kanan di atas tangan kirinya di atas dada, yakni di atas pergelangannya.” (HR Ahmad dan dinyatakan hasan oleh Tirmidzi).
Wail bin Hajar berkata, “Saya melakukan shalat bersama Nabi Saw maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada.” (HR Ibnu Khuzaimah dan ia menyatakannya sahih. Begitu juga Abu Dawud dan Nasa’i dengan kalimat, “Lalu beliau menaruh tangan kanannya di atas pergelangan dan lengan.” Artinya, Nabi Saw meletakkan tangan sebelah kanan di atas punggung tangannya yang kiri, yaitu pada bagian pergelangan dan lengannya).

3.       Membaca al-Fatihah saat menjadi makmum dalam shalat berjama’ah
Pada asalnya, shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat shalat fardhu maupun shalat sunnah sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Akan tetapi, kewajiban membaca bagi makmum digugurkan ketika mengerjakan shalat-shalat yang mesti dikeraskan suaranya dan ia wajib diam dan mendengarkan bacaan imam. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala, “Dan apabila dibacakan AlQuran, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS Al-A’raf ayat 204).
Juga sabda Rasulullah Saw, “Jika imam membaca takbir, hendaklah kamu membaca takbir pula dan kalau ia membaca AlQuran, hendaklah kamu diam” (HR Muslim).
Dengan demikian, inilah maksud hadits yang berbunyi, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat berjamaah, maka bacaan imam itu berarti bacaannya.” Jadi, maksudnya adalah bacaan imam itu berarti bacaan makmum pada shalat-shalat yang harus menyaringkan suara bacaan. Adapun shalat-shalat yang harus memperlahankan suara bacaan, maka makmum wajib membaca AlQuran. Begitu juga makmum wajib membaca AlQuran pada shalat-shalat yang harus mengeraskan suara bacaan, jika bacaan imam itu tidak kedengaran.
Akan tetapi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan, “Pendapat yang lebih kuat menurut kami adalah wajib membaca AlQuran pada shalat harus memperlahankan suara bacaan karena berdasarkan keumuman maksud dan makna hadits-hadits yang membahas dalam masalah ini. Mengenai shalat yang harus menyaringkan suara bacaan, maka tidak boleh membaca AlQuran, disebabkan tiga alasan:
Pertama, karena yang demikian itu merupakan amalan penduduk Madinah.
Kedua, karena ia adalah perintah AlQuran sebagai firman-Nya, “Dan apabila dibacakan AlQuran, maka dengarkanlah dan diamlah”. Di samping itu, ayat ini didukung pula oleh dua buah hadits, yaitu hadits pertama adalah hadits Imran bin Husain, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa ada beberapa orang di antara kamu telah mengacaukan pikiranku dengan bacaan”. Hadits kedua adalah ucapan Nabi Saw., “Jika imam itu membaca ayat AlQuran, hendaklah kamu berdiam diri”.
Ketiga, ialah tarjih, yakni mengambil pendapat yang lebih kuat. Jadi, jika imam sudah membaca ayat AlQuran, maka si makmum tidak perlu lagi membaca ayat AlQuran. Jika ada seseorang yang bertanya, sebenarnya makmum dibolehkan membaca AlQuran, yaitu sewaktu imam itu berhenti sejenak. Jawabnya adalah berhenti bukanlah suatu keharusan bagi imam. Lantas bagaimanakah caranya melakukan atau memaksakan sesuatu yang fardhu ke dalam perkara yang tidak fardhu, apalagi pada waktu mengerjakan shalat yang harus menyaringkan suara bacaan? Sebenarnya, kita sebagai makmum mempunyai kesempatan untuk membaca ayat AlQuran dengan cara lain, yaitu membacanya di dalam hati, seperti merenung dan memikirkan maknanya. Inilah norma AlQuran dan hadits, memelihara ibadah dan menjaga Sunnah, di samping mengamalkan pendapat yang lebih kuat atau tarjih. Pendapat ini juga menjadi pilihan bagi Zuhri, Ibnu Mubarak, Malik, Ahmad, dan Ishaq yang disokong oleh Ibnu Taimiyah.

4.       Cara turun untuk bersujud dan cara bangkit untuk berdiri
Jumhur ulama berpendapat disunnahkan meletakkan kedua lutut ke lantai sebelum kedua tangan. Hal ini diceritakan Ibnu Mundzir dari Umar, Nakh’i, Muslim bin Yasar, Sufyan Tsauri, Ahmad, Ishaq, dan ulama-ulama lainnya, katanya, “Itu juga merupakan pendapatku sendiri”.
Hal itu juga diceritakan Abu Thayyib sebagai pendapat mayoritas fuqaha. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi Saw. Meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya jatuh ke lantai, kemudian meletakkan kedua tangan, lalu kening dan hidung. Ini merupakan keterangan hadits sahih yang diriwayatkan oleh Syuraik, dari Ashim bin Kalib, dari Wa’il bin Hajar yang berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw. apabila sujud, maka beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangan. Dan jika bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lutut. Dan tidak ditemukan riwayat yang bertentangan dengan perbuatannya itu.
Sementara itu, Malik, Auza’i, dan Ibnu Hazm berpendapat, sunnah meletakkan kedua tangan sebelum lutut. Ini juga merupakan satu riwayat dari Ahmad. Auza’i mengatakan, “Aku dapati kaum muslimin meletakkan kedua tangan sebelum lutut mereka”. Dan menurut Ibnu Abu Dawud, ia juga merupakan pendapat ulama hadits.
Mengenai cara bangkit dari sujud, yakni ketika berdiri menuju rakaat kedua, maka dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Menurut jumhur ulama, sunnah mengangkatkan tangan terlebih dulu, kemudian baru disusul dengan kedua lutut. Sedang menurut sebagian ulama, hendaklah seseorang mengangkat kedua lutut sebelum kedua tangan.

5.       Doa Qunut
Disyariatkan membaca doa qunut dengan suara keras dalam shalat lima waktu ketika ada bencana. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a berkata, “Rasulullah Saw. pernah membaca qunut sebulan berturut-turut dalam shalat-shalat zhuhur, ashar, magrib, isya dan subuh, yaitu pada rakaat terakhir ketika i’tidal sesudah membaca ‘sami’allahu liman hamidah’. Di situ beliau berdoa untuk kebinasaan bani Sulaim, Ra’al, Dzakwan, dan Ushayyah, sedangkan makmum yang di belakang mengaminkan doanya itu. Abu Dawud dan Ahmad menambahkan demikian, ‘Rasulullah Saw. mengirimkan beberapa orang muballigh untuk mengajak ke dalam agama Islam, tetapi para muballigh itu dibunuh kabilah-kabilah tersebut.’ Ikrimah mengatakan, ‘Peristiwa itu merupakan permulaan membaca qunut’.
Qunut dalam shalat subuh, menurut mazhab Syafi’i merupakan perbuatan sunnah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah selain Tirmidzi dari Ibnu Sirin, “Anas bin Malik pernah ditanya demikian, ‘Apakah Nabi Saw. pernah berqunut ketika dalam shalat subuh?’ Ia menjawab, ‘Ya’. Kemudian beliau ditanya kembali, ‘Apakah qunut itu dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya? Ia menjawab, ‘Qunut itu dibaca sesudah ruku’.” Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ahmad, Bazzar, Daruquthni, Baihaqi, dan Hakim yang menganggapnya sahih, dari Anas yang berkata, “Rasulullah Saw.  itu senantiasa berqunut dalam shalat subuh hingga beliau wafat”.
Sementara pendapat imam mazhab lainnya berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh itu tidak disyariatkan kecuali apabila terjadi bahaya. Kalau terjadi bahaya atau bencana, maka bukan hanya dalam shalat subuh yang disunnahkan berqunut, malah ia juga disunnahkan supaya dibaca pada setiap shalat fardhu, sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Khalifah-khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar dan Usman) bahwa mereka tidak pernah berqunut dalam shalat subuh. Demikianlah mazhab Hanafi, Hanbali, Ibnu Mubarak, Tsauri dan Ishak.
Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzi yang menganggapnya sebagai hadits sahih meriwayatkan bahwa Abu Malik Al-Asyja’i berkata, “Ayahku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw ketika masih berusia enam belas tahun, bahkan pernah bermakmum kepada Abu Bakar, Umar dan Utsman. Aku bertanya, ‘Apakah Nabi Saw dan para sahabat itu pernah berqunut? Ayahku menjawab, ‘Tidak, wahai anakku. Itu hanya suatu yang diada-adakan.”
Juga diriwayatkan dari Ibnu Hibban, al-Khatib, Ibnu Khuzaimah dan ia menganggapnya sebagai hadits hasan, dari Anas, “Nabi Saw itu tidak pernah berqunut dalam shalat subuh kecuali bila untuk mendoakan kebaikan atau kebinasaan sesuatu kaum”.

  Akan tetapi, walau bagaimanapun perselisihan para ulama dalam hal ini maka qunut itu termasuk sesuatu hal yang mubah. Dengan kata lain, ia boleh dilakukan atau ditinggalkan. Hanya sebaik-baiknya adalah mengikuti keterangan dan perbuatan yang berasal dari petunjuk Nabi Muhammad Saw.

Wallohua'lam bisshowwab.

Sumber : Kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar