Rabu, 28 Juni 2017

Halal dan Haram dalam Makanan dan Minuman

Halal dan Haram dalam Makanan dan Minuman

                Terdapat kaidah syar’i untuk mengetahui makanan yang dihalalkan dan yang diharamkan, yaitu berdasarkan firman Alloh Swt :
Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir atau daging babi. Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Quran Surah Al An’am ayat 145)
Dan Dia menghalalkan untuk mereka segala yang baik (thoyyibat) dan mengharamkan segala yang buruk” (Quran Surah Al A’raf ayat 157)
Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah : ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik (thoyyibat)” (Quran Surah Al Maidah ayat 4)
Thoyyibat adalah sesuatu yang memberikan kebaikan dan diinginkan oleh jiwa yang sehat. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, ada tiga prinsip kehalalan dan keharaman makanan yaitu :
Dihalalkan hewan yang dianggap baik yang dapat memberikan kesuburan serta kemakmuran, antara lain hewan yang hidup di laut dan binatang ternak (kecuali keledai dan begal).
Diharamkan setiap binatang buas yang mempunyai gigi taring yang kuat untuk menerkam mangsanya, seperti anjing, babi, serigala, hewan melata, kucing, gajah, harimau, singa, kera dan hewan lainnya. Diharamkan juga memakan burung-burung yang mempunyai cakar, yaitu kuku yang kuat dan bisa melukai mangsanya, seperti elang, falcon, dan rajawali.
Diharamkan memakan setiap hewan yang disunnahkan untuk membunuhnya, seperti ular, kalajengking, burung gagak, burung rajawali, tikus, dan setiap hewan yang selalu menyebabkan mudarat.
Uraian makanan yang diharamkan : Segala macam serangga, yaitu hewan kecil yang melata di bumi, dan yang kecil ukurannya, seperti semut, kumbang, lalat, ular, cacing, kutu busuk, kutu rambut, kecoa, cicak, tokek, dan binatang lain sejenis. Selain itu, diharamkan hewan yang memiliki jarum dan bisa (sengatan), seperti lebah, tawon, kalajengking, dan lain-lain. Burung-burung yang diharamkan antara lain burung beo, burung merak, burung bangkai, bughatsah, burung layang-layang, dan kelelawar. Diharamkan segala sesuatu yang najis yang tidak mungkin disucikan, seperti zat cair yang terkena najis, dan diharamkan semua yang membahayakan tubuh, seperti bebatuan, tanah, kaca, racun. Opium (candu), dan lain-lain.
Uraian makanan yang dihalalkan : Dihalalkan burung unta, bebek, angsa, ayam, ayam hutan, burung merpati, dan semua jenis burung seperti burung bulbul, burung tiung, dan lain-lain. Dihalalkan segala sesuatu yang suci dan tidak membahayakan, tidak menjijikkan dan tidak dipandang kotor, seperti buah-buahan, teh, telur, roti, dan lain-lain. Dihalalkan air susu hewan yang dagingnya boeh dimakan.
Minuman yang diharamkan disebabkan karena membahayakan, mengandung najis, dan memabukkan, baik berupa khamar maupun selain khamar. Diharamkan pula mengosumsi zata aditif (narkoba) dengan segala macamnya dan bagaimanapun cara pengonsumsiannya karena pada zat aditif tersebut terdapat hal yang membahayakan akal dan tubuh, serta menyebabkan ketagihan. Pengecualian haramnya meminum khamar dan zat aditif, yakni karena dalam keadaan darurat, misal karena tersedak, dan karena untuk pengobatan yang dalam keadaan darurat (sedangkan zat memabukkan yang murni tidak mungkin menjadi obat), dan sebab untuk melakukan operasi tindakan pengobatan menggunakan zat aditif dalam keadaan darurat.
Mengonsumsi makanan yang halal dan baik berdasarkan perintah Allah Swt dalam Alquran :
Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithon, karena sesungguhnya syaithon itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Quran Surah Al Baqarah ayat 168)
Rasulullah Saw memberi peringatan melalui hadisnya :
Setiap daging (bagian tubuh) yang tumbuh dari barang yang haram, maka api nerakalah baginya”. (H.R At Tirmidzi)
Kriteria pengharaman beberapa jenis makanan :
1)      Makanan yang diharamkan secara Lidzaatihi : yaitu jenis makanan yang diharamkan karena secara zatnya diharamkan
2)      Makanan yang diharamkan secara Lighairihi : yaitu jenis makanan yang diharamkan karena cara mendapatkannya haram
Kaidah – kaidah dasar dalam hal Halal dan Haram (Saadiul al islam fii sya’nun al halal wal haram) :
1.       Asal dari segala sesuatu adalah boleh
2.       Persoalan halal dan haram itu adalah mutlak haknya Allah Swt
3.       Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram itu setara dengan perbuatan syirik
4.       Pengharaman sesuatu mengikuti tingkat kemudahan suatu hal/ segala sesuatu yang diharamkan pasti mengandung kemudharatan/ kekejian
5.       Segala sesuatu yang diharamkan pasti ada penggantinya yang setara
6.       Sesuatu yang menyebabkan seseorang jatuh pada perbuatan haram maka sesuatu tersebut dihukumi haram
7.       Sesuatu yang haram kemudian dibungkus sesuatu hukumnya tetap haram, sebagai misal pornografi dianggap seni, hukumnya tetap haram
8.       Niat yang baik tidak bisa menghalalkan sesuatu yang haram/ sesuatu yang haram hukumnya tidak bisa diubah hanya dengan niat yang baik
9.       Menjauhi hal-hal yang subhat
10.   Sesuatu yang darurat bisa menyebabkan sesuatu yang haram menjadi halal
Di Indonesia, kehalalan sebuah produk makanan dan minuman diberikan lisensi/ sertifikasi oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia. Lembaga LPPOM MUI yang mulai didirikan pada tanggal 6 Januari 1989, bertepatan dengan 26 Jumadil Awal 1409 H berdasarkan SK No. 18/MUI/1989. Lembaga ini dibentuk untuk membantu MUI dalam menentukan kebijaksanaan, merumuskan ketentuan-ketentuan, rekomendasi dan bimbingan yang menyangkut pangan, obat-obatan dan kosmetika sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain LPPOM MUI didirikan agar dapat memberikan rasa tentram pada umat, terkait produk yang dikonsumsinya. Oleh karenanya, bagi umat muslim, perlu waspada terhadap kehalalan produk makanan dan minuman yang beredar di pasaran dengan memperhatikan sertifikat halal yang ada pada produk makanan dan minuman. Saat ini untuk mengecek kehalalalan produk makanan dan minuman bisa lansgung mengakses portal www.halalmui.org. Selain daftar makanan yang telah bersertifikasi, di dalam portal online ini juga diuraikan fatwa-fatwa ulama mengenai halal haramnya makanan dan minuman seperti kopi luwak, kepiting, kelinci, vaksin, dan lain-lain.

Daftar pustaka :
  1. Buku “Fikih Manhaji” Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i Jilid 1. Dr. Musthafa al-Bugha. Dr. Musthafa al-Khann, Ali al-Syurbaji. Penerbit Pustaka Darul Uswah.
  2. Portal online www.halalmui.org milik Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
  3. Kajian Fiqih di Lembaga Pendidikan Insani Yogyakarta


BERSUCI ( THAHARAH )

BERSUCI ( THAHARAH )

                Bersuci secara etimologis berarti membersihkan diri dari kotoran. Apakah itu kotoran yang sifatnya indrawi seperti najis, ataupun kotoran yang bersifat maknawi seperti aib. Sementara itu menurut syara’, bersuci memiliki pengertian suatu perbuatan yang menyebabkan bolehnya melaksanakan shalat (atau hal lain yang hukumnya sama dengan shalat). Misalnya berwudhu (untuk orang yang belum berwudhu), mandi (bagi orang yang wajib mandi), serta membersihkan pakaian, badan, dan tempat.
                Keharusan bersuci ini menunjukkan bahwa islam sangat memerhatikan kesucian dan kebersihan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (Quran Surat Al Baqarah ayat 222). Dan pada hadisnya, Rasulullah Saw bersabda, “Bersuci itu separuh dari iman” (HR Bukhari), dalam hadis yang lain, “Ada lima kegiatan yang merupakan fitrah, yakni berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memendekkan kumis” (HR Bukhari Muslim).
Bersuci dengan Air
Ada empat macam air dalam kaitannya dengan bersuci, yaitu :
1)      Air suci menyucikan, yaitu air pada umumnya dan keadaannya masih seperti kali pertama diciptakan. Disebut pula air mutlak. Contoh : air sungai, air laut, air hujan, dan sebagainya
2)      Air suci menyucikan tapi makruh, yaitu air yang dijemur di bawah sinar matahari
3)      Air suci tak menyucikan, ada dua jenis, jenis pertama yakni air bekas pakai bersuci seperti mandi dan berwudhu. Sementara dalam kitab fiqih sunnah, air bekas pakai bersuci ini disebut air musta’mal dan disebut suci menyucikan.
Dan jenis kedua yakni air yang telah bercampur dengan zat-zat suci lain yang biasanya tidak terkandung dalam air, dan tidak mungkin lagi dipisahkan darinya. Contoh : air teh
4)      Air mutanajjis, yaitu air yang sudah kena najis. Imam Nawawi mengungkapkan. “Ibnu al Mundzir berpendapat, air dengan kadar yang sedikit ataupun banyak dan berubah rasa, warna, atau baunya karena tercampur najis, maka air tersebut menjadi air bernajis menurut ijmak para ulama”.
Air yang dapat digunakan untuk bersuci hanyalah air jenis pertama dan kedua, walupun jenis kedua makruh digunakan untuk fisik. Adapun jenis air yang ketiga tidak bisa dipakai bersuci, sekalipun suci zatnya yang menyebabkan tetap dapat dipakai untuk keperluan selain bersuci, misalnya keperluan minum, memasak, atau lainnya. Sementara itu, jenis air yang keempat, air mutanajjis, tidak bisa digunakan sama sekali.
Bersuci dari Najis
                Najis secara bahasa berarti segala hal yang menjijikkan. Menurut terminologi syara’, najis adalah hal yang menjijikkan yang menyebabkan shalat tidak sah. Contohnya, darah dan air seni. Ada banyak benda yang diangggap najis, diantaranya sebagai berikut :
a.       Khamar dan semua zat cair yang memabukkan
b.      Anjing dan babi
c.       Bangkai, kecuali jenazah manusia, bangkai ikan, dan bangkai belalang
d.      Darah cair termasuk nanah, kecuali hati dan limpa
e.      Kotoran dan air seni manusia dan binatang
f.        Semua bagian tubuh binatang yang putus dalam keadaan hidup, kecuali rambut dan bulu hewan yang biasa dikonsumsi dagingnya
g.       Susu binatang yang dagingnya tidak untuk dikonsumsi, seperti kedelai dan sejenisnya.
Najis yang masih dapat dilihat secara kasat mata disebut najis ‘aini, sedangkan najis yang sudah kering dan tidak terlihat lagi warna atau baunya disebut najis hukmi.
Benda-benda najis yang telah disebut di atas dikelompokkan menjadi najis berat, sedang dan ringan. Najis berat (mughallazhah), seperti anjing dan babi. Najis ini baru hilang setelah dibasuh dulu tujuh kali dengan air, dimana salah satunya dengan tanah. Sementara dalam kitab fiqih sunnah disebutkan pencucian yang pertama mesti menggunakan tanah.
Najis ringan (mukhaffafah), seperti air kencing bayi yang belum mengonsumsi apa-apa selain susu dan berusia di bawah dua tahun. Dalam kitab fiqih sunnah disebutkan kencing bayi laki-laki yang hanya meminum air susu. Cara menyucikannya, dengan memercikkan air disebar secara merata ke tempat yang kena najis, tanpa perlu mencucinya. Najis sedang (mutawassitah), yaitu najis selain kedua jenis di atas. Contohnya, air seni orang dewasa, kotoran hewan, dan darah. Cara menyucikannya dengan mencuci hingga najis berikut bekas-bekasnya hilang.
                Menyucikan kulit hewan selain anjing dan babi adalah dengan cara disamak. Menyamak adalah proses yang dapat menghilangkan kelembaban kulit yang dapat merusak dengan suatu zat, yang mudah terbakar dan berbau tajam sehingga jika terkena air tidak berbau dan rusak. Rasulullah Saw bersabda, “Jika kulit disamak, ia pun menjadi suci” (HR Muslim)
Adab Istinja
                Istinja artinya menghilangkan atau meminimalkan najis dari tempat keluarnya air seni atau kotoran. Beristinja hukumnya wajib. Istinja dapat dilakukan dengan air mutlak. Air merupakan alat bersuci paling utama dari najis. Disamping air, semua benda padat juga dapat menjadi alat untuk menghilangkan najis, seperti batu, kertas dan semacamnya. Orang yang buang hajat disunnahkan untuk mendahulukan kaki kirinya ketika masuk WC dan mendahulukan kaki kanannya ketika keluar, serta membaca doa baik sebelum masuk WC maupun setelah keluar, menjauhkan dan menyembunyikan diri dari penglihatan manusia dan agar tidak terdengar suara atau tercium baunya, tidak berbicara, dan tidak menghadap atau membelakangi kiblat jika ditempat terbuka, dan beristinja dengan menggunakan tangan kiri sementara tangan kanan menyiramkan air.
Bersuci dari hadas
                Hadas menurut syara’ adalah suatu kondisi yang dialami anggota tubuh yang mengakibatkan tidak sahnya shalat, atau hal lain yang sama hukumnya dengan shalat. Ada dua jenis hadas, yaitu : Hadas kecil yang dapat dihilangkan dengan berwudhu, dan hadas besar yang dapat dihilangkan dengan mandi.

Wudhu
                Alloh Swt berfirman dalam Quran Surah Al Maidah ayat 6 : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu da tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki”.
                Fardhu wudhu ada enam, yaitu : niat, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai ke siku, menyapu kepala, membasuh kaki sampai mata kaki, dan berurutan. Sedangkan sunnah dalam berwudhu antara lain :
a.       Membaca bismillah di awal wudhu
b.      Membasuh telapak tangan tiga kali
c.       Bersiwak / menggosok gigi
d.      Berkumur-kumur dan membersihkan hidung dengan air
e.      Menyela-nyela janggut yang lebat dengan jemari
f.        Menyapu seluruh kepala
g.       Menyela jemari tangan dan kaki
h.      Menyapu telinga bagian luar dan dalam
i.         Melakukan fardhu dan sunnah wudhu tiga kali – tiga kali
j.        Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
k.       Menggosok anggota tubuh dengan tangan
l.         Beriringan
m.    Melebihkan basukan pada bagian depan kepala, lengan di atas siku, dan bagian di atas mata kaki
n.      Hemat dan tidak boros menggunakan air
o.      Menghadap kiblat
p.      Tidak bicara saat berwudhu
q.      Berdoa ketika memulai wudhu dan membaca tasyahud dan berdoa usai berwudhu
Hal – hal yang dapat membatalkan wudhu :
a)      Benda apa pun yang keluar melalui kelamin dan anus, baik itu air seni, kotoran, darah atau angin
b)      Tidur pulas
c)       Hilangnya kesadaran yang disebabkan karena mabuk, pingsan, sakit atau gila
d)      Menyentuh istri atau lawan jenis yang bukan mahram, tanpa pelapis apa pun. Sementara dalam kitab fiqih sunnah disebutkan bahwa menyentuh perempuan tanpa pembatas tidak serta merta membatalkan wudhu
e)      Menyentuh alat kelamin atau dubur milik sendiri atau orang lain dengan telapak tangan dan jemari tanpa dilapisi apa pun.
Mandi
                Ada dua macam mandi, yaitu :
1.       Mandi wajib, yaitu mandi yang dilakukan karena sebab-sebab khusus yang menjadi prasyarat sahnya ibadah. Sebab-sebab itu adalah junub, haid, melahirkan dan meninggal. Dalam kitab fiqih sunnah juga disebutkan mandi wajib bagi orang kafir jika sudah masuk Islam.
2.       Mandi sunnah, yaitu mandi yang tanpa melakukannya shalat tetap sah. Meski demikian, dalam tertentu syara’ sangat menganjurkan mandi. Contoh : mandi sebelum shalat jumat, mandi hari raya, mandi shalat gerhana, mandi shalat istisqa, mandi setelah memandikan jenazah, mandi dalam rangkaian prosesi haji.
Fardhu mandi ada dua, yaitu berniat ketika memulai mandi, dan membasuh semua permukaan kulit dan rambut dengan air serta memastikan sampainya air ke akar rambut. Sedangkan sunnah mandi antara lain : membasuh tangan, menggosok badan, berwudhu, menyisir rambut dan membasuh kepala, dan mendahulukan membasuh bagian tubuh sebelah kanan daripada sebelah kiri.
Tayammum
                Tayammum berarti mengusapkan tanah suci ke wajah dan dua tangan dengan niat dan cara tertentu. Tayammum berkedudukan sebagai pengganti wudhu atau mandi disebabkan ketiadaan air, atau letaknya terlalu jauh atau karena sedang menderita suatu penyakit yang tidak boleh terkena air. Alloh Swt berfirman : “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu”  (Quran Surah Al Maidah ayat 6).
                Syarat – syarat tayammum, antara lain : mengetahui dengan pasti bahwa shalat sudah masuk, sudah berusaha terlebih dahulu mencari air begitu masuk waktu shalat, tanah yang digunakan adalah tanah yang suci, bukan debu berpasir atau berbentuk bubuk halus, menghilangkan najis terlebih dahulu, dan terlebih dahulu menghadap kiblat. Rukun tayammum ada empat, yaitu berniat, menyapu wajah dan menyapu kedua tangan sampai siku dengan dua kali menepuk tanah, serta berurutan.  

Daftar pustaka :
  1. Buku “Fikih Manhaji” Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i Jilid 1. Dr. Musthafa al-Bugha. Dr. Musthafa al-Khann, Ali al-Syurbaji. Penerbit Pustaka Darul Uswah.
  2. Buku “Fiqih Sunnah” Jilid 1. Sayyid Sabiq. Penerbit Pena.