Jumat, 26 Mei 2017

FIQIH PUASA

FIQIH PUASA
(Rangkuman dari Kitab Fiqih Manhaji Imam Asy-Syafi’i)

            Puasa (dalam bahasa Arab disebut ash-shiyam) secara bahasa berarti al-imsak ‘an asy-syai yang bermakna ‘menahan dari sesuatu’, baik perkataan ataupun makanan. Adapun puasa dalam terminologi syariat adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, disertai dengan niat.
            Puasa pada bulan Ramadhan disyariatkan pertama kali pada tahun ke-2 Hijriah. Namun sebelum itu, puasa juga telah dikenal pada umat-umat terdahulu, dan dikenal juga di kalangan Ahli Kitab yang hidup semasa Rasulullah Saw. Firman Allah Swt dalam Surat Albaqarah ayat 183 :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Akan tetapi, puasa Ramadhan belum pernah diwajibkan sebelum itu. Jadi, dalam kesamaan puasa, umat Nabi Muhammad Saw memiliki kesamaan dengan umat-umat terdahulu. Hanya saja, umat Nabi Muhammad Saw diistimewakan dengan puasa Ramadhan.
Fiqih merupakan ilmu mendalami, memahami, dan menjabarkan syariat ke dalam kaidah-kaidah yang lebih konkrit dan terperinci sehingga mudah dilaksanakan dalam praktek. Fiqih ada dua macam, yaitu fiqih ibadah (shalat, puasa, zakat, haji, dll), dan fiqih muamalah (fiqih munakahat, fiqih mawaris, fiqih jinayah, fiqih jual beli, dll). Dalam pembahasan ini akan dikupas mengenai salah satu fiqih ibadah, yaitu fiqih puasa.
A.   Syarat Wajib Puasa
Untuk diwajibkannya puasa Ramadhan atas seseorang, disyaratkan beberapa syarat berikut :
1)    Islam
2)    Taklif (baligh dan berakal)
3)    Tidak ada larangan yang menghalanginya untuk berpuasa, atau uzur yang membolehkannya membatalkan puasa.
Adapun faktor yang menyebabkan seseorang terhalang/ dilarang berpuasa antara lain : kondisi yang diragukan apakah sedang haid atau nifas pada siang hari dan pingsan atau gila sepanjang siang hari.
Adapun uzur yang membolehkan seseorang berbuka yaitu : sakit yang membuat penderitanya mendapat mudarat yang berbahaya atau merasakan penderitaan atau kesakitan yang amat pedih; kondisi sedang dalam perjalanan yang jauh; kondisi tidak mampu lagi berpuasa, baik karena sudah tua renta atau karena sakit yang tidak ada harapan lagi dapat disembuhkan. Sebab, puasa hanya diwajibkan bagi orang yang mampu melaksanakannya.
Firman Allah Swt dalam Surat Albaqarah ayat 184 :
Dan bagi orang-orang yang tidak sanggup lagi (melakukan puasa), maka meraka dapat menggantinya dengan fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin.”
Firman Allah Swt dalam Surat Albaqarah ayat 185 :
Dan barang siapa di antara kalian yang sakit, atau sedang dalam perjalanan, maka ia boleh mengganti puasanya pada hari-hari yang lain (di luar bulan Ramadhan)”.

B.   Syarat Sah Puasa
1)    Islam
2)    Berakal
3)    Tidak ada halangan yang melarangnya berpuasa atau uzur yang membolehkannya membatalkan puasa, yaitu berupa keraguan akan nifas atau haid serta juga penyakit pitam dan gila yang menimpanya sepanjang siang hari.

C.   Rukun Puasa
Puasa memiliki dua rukun utama, yaitu berniat puasa dan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
1)    Niat Berpuasa, yaitu bersengajanya seseorang berpuasa. Niat puasa Ramadhan dilakukan ketika hari masih malam, yaitu sebelum terbit fajar. Rasulullah Saw bersabda : “Siapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya”. (H.R Daruquthni dan Baihaqi).
Niat puasa ramadhan dilakukan berulang-ulang, artinya seorang yang berpuasa harus berniat setiap malam sebelum terbit fajar bahwa ia akan berpuasa besok.

2)    Menahan Diri Dari Segala Yang Membatalkan
Adapun yang dapat membatalkan puasa itu adalah sebagai berikut :
a.    Makan dan minum, yang dilakukan dengan sengaja, sesedikit apa pun makanan dan minuman tersebut
b.    Masuknya sesuatu (benda yang dapat dilihat oleh mata) ke dalam jauf/kerongkongan dari manfadz maftuh/ lubang tubuh yang terbuka (mulut, telinga, lubang kemaluan, dubur/anus, baik pada laki-laki maupun perempuan)
c.    Muntah dengan sengaja, walaupun orang yang berpuasa itu meyakini bahwa sisa muntahnya itu tidak masuk lagi ke kerongkongannya. Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang muntah dengan tidak sengaja (tidak dapat ia tahan), sementara ia berpuasa, maka dia tidak wajib mengqadha puasanya. Tapi siapa yang sengaja muntah, maka hendaklah dia mengqadha puasanya.” (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)
d.    Bersetubuh dengan sengaja, walaupun tidak mengeluarkan mani/ sperma
e.    Onani, yaitu mengeluarkan air mani dengan sengaja, baik melalui ciuman, dengan tangan, dan lain sebagainya
f.     Haid dan Nifas
Apabila ada seorang wanita yang tengah berpuasa, lalu tiba-tiba ia haid atau nifas pada waktu siang, maka batallah puasanya, dan ia wajib mengqadha puasanya pada hari yang lain.
g.    Gila dan Murtad
Dua hal ini membuat sah puasa menjadi hilang. Sebab, baik orang gila ataupun murtad, keduanya telah kehilangan hak untuk beribadah.

D.   Adab Berpuasa
Dalam berpuasa, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan, yaitu :
1)    Menyegerakan berbuka
2)    Makan sahur
Rasulullah Saw bersabda : “Sahurlah kalian, sebab pada sahur itu terdapat keberkahan.” (H.R Bukhari dan Muslim)
3)    Mengakhirkan sahur
4)    Meninggalkan perkataan yang sia-sia, yaitu perkataan-perkataan yang semisal memaki, berdusta, menggunjing, mengadu domba, dan sebagainya. Selain itu, hendaklah seorang yang berpuasa menjaga dirinya dari perbuatan yang menimbulkan syahwat, seperti melihat wanita, mendengarkan lagu, dan sebagainya
5)    Mandi junub sebelum terbit fajar. Hendaknya seseorang sudah suci dari segala hadas sejak awal puasanya. Namun demikian, bukan berarti orang junub tidak boleh berpuasa. Hanya saja, lebih afdhal jika junub itu dihilangkan sebelum terbit fajar
6)    Tidak berbekam, mengeluarkan darah dari tubuh dan sebagainya
7)    Berdoa ketika berbuka, yaitu dengan mengucapkan doa (yang artinya) :
Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa. Dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Sekarang hilanglah rasa haus itu dan kerongkongan pun menjadi basah, serta pahala pun sudah ditetapkan, insyaAllah.”
8)    Memberi berbuka orang yang berpuasa
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR. Tirmidzi)
9)    Banyak bersedekah, membaca Al-Quran dan iktikaf di masjid, terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

E.    Yang dimakruhkan Ketika Berpuasa
Adapun hal-hal dan perbuatan yang dimakruhkan atas seseorang selama berpuasa adalah kebalikan dari semua adab yang disunnahkan di atas, seperti mengakhirkan berbuka, menyegerakan sahur, dan sebagainya.


Daftar pustaka :
1.    Buku Fikih Manhaji Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i Jilid 1. Dr. Musthafa al-Bugha. Dr. Musthafa al-Khann, Ali al-Syurbaji. Penerbit Pustaka Darul Uswah.



1 komentar: