FIQIH PUASA
(Rangkuman dari Kitab
Fiqih Manhaji Imam Asy-Syafi’i)
Puasa (dalam bahasa Arab disebut ash-shiyam) secara bahasa berarti al-imsak ‘an asy-syai yang bermakna
‘menahan dari sesuatu’, baik perkataan ataupun makanan. Adapun puasa dalam terminologi
syariat adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, mulai dari
terbit fajar hingga terbenam matahari, disertai dengan niat.
Puasa pada bulan Ramadhan
disyariatkan pertama kali pada tahun ke-2 Hijriah. Namun sebelum itu, puasa
juga telah dikenal pada umat-umat terdahulu, dan dikenal juga di kalangan Ahli
Kitab yang hidup semasa Rasulullah Saw. Firman Allah Swt dalam Surat Albaqarah
ayat 183 :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.”
Akan
tetapi, puasa Ramadhan belum pernah diwajibkan sebelum itu. Jadi, dalam
kesamaan puasa, umat Nabi Muhammad Saw memiliki kesamaan dengan umat-umat
terdahulu. Hanya saja, umat Nabi Muhammad Saw diistimewakan dengan puasa
Ramadhan.
Fiqih merupakan ilmu mendalami,
memahami, dan menjabarkan syariat ke dalam kaidah-kaidah yang lebih konkrit dan
terperinci sehingga mudah dilaksanakan dalam praktek. Fiqih ada dua macam,
yaitu fiqih ibadah (shalat, puasa, zakat, haji, dll), dan fiqih muamalah (fiqih
munakahat, fiqih mawaris, fiqih jinayah, fiqih jual beli, dll). Dalam
pembahasan ini akan dikupas mengenai salah satu fiqih ibadah, yaitu fiqih
puasa.
A.
Syarat Wajib Puasa
Untuk diwajibkannya puasa Ramadhan
atas seseorang, disyaratkan beberapa syarat berikut :
1)
Islam
2)
Taklif
(baligh dan berakal)
3)
Tidak
ada larangan yang menghalanginya untuk berpuasa, atau uzur yang membolehkannya
membatalkan puasa.
Adapun
faktor yang menyebabkan seseorang terhalang/ dilarang berpuasa antara lain :
kondisi yang diragukan apakah sedang haid atau nifas pada siang hari dan
pingsan atau gila sepanjang siang hari.
Adapun
uzur yang membolehkan seseorang berbuka yaitu : sakit yang membuat penderitanya
mendapat mudarat yang berbahaya atau merasakan penderitaan atau kesakitan yang
amat pedih; kondisi sedang dalam perjalanan yang jauh; kondisi tidak mampu lagi
berpuasa, baik karena sudah tua renta atau karena sakit yang tidak ada harapan
lagi dapat disembuhkan. Sebab, puasa hanya diwajibkan bagi orang yang mampu
melaksanakannya.
Firman
Allah Swt dalam Surat Albaqarah ayat 184 :
“Dan bagi orang-orang yang tidak sanggup lagi
(melakukan puasa), maka meraka dapat menggantinya dengan fidyah, yaitu memberi
makan satu orang miskin.”
Firman
Allah Swt dalam Surat Albaqarah ayat 185 :
“Dan barang siapa di antara kalian yang
sakit, atau sedang dalam perjalanan, maka ia boleh mengganti puasanya pada
hari-hari yang lain (di luar bulan Ramadhan)”.
B.
Syarat Sah Puasa
1)
Islam
2)
Berakal
3)
Tidak
ada halangan yang melarangnya berpuasa atau uzur yang membolehkannya
membatalkan puasa, yaitu berupa keraguan akan nifas atau haid serta juga
penyakit pitam dan gila yang menimpanya sepanjang siang hari.
C.
Rukun Puasa
Puasa memiliki dua rukun utama, yaitu
berniat puasa dan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa mulai dari
terbit fajar hingga terbenam matahari.
1)
Niat
Berpuasa, yaitu bersengajanya seseorang berpuasa. Niat puasa Ramadhan dilakukan
ketika hari masih malam, yaitu sebelum terbit fajar. Rasulullah Saw bersabda :
“Siapa yang tidak berniat puasa sebelum
terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya”. (H.R Daruquthni dan Baihaqi).
Niat
puasa ramadhan dilakukan berulang-ulang, artinya seorang yang berpuasa harus
berniat setiap malam sebelum terbit fajar bahwa ia akan berpuasa besok.
2)
Menahan
Diri Dari Segala Yang Membatalkan
Adapun
yang dapat membatalkan puasa itu adalah sebagai berikut :
a.
Makan
dan minum, yang dilakukan dengan sengaja, sesedikit apa pun makanan dan minuman
tersebut
b.
Masuknya
sesuatu (benda yang dapat dilihat oleh mata) ke dalam jauf/kerongkongan dari manfadz
maftuh/ lubang tubuh yang terbuka (mulut, telinga, lubang kemaluan,
dubur/anus, baik pada laki-laki maupun perempuan)
c.
Muntah
dengan sengaja, walaupun orang yang berpuasa itu meyakini bahwa sisa muntahnya
itu tidak masuk lagi ke kerongkongannya. Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah
Saw bersabda, “Siapa yang muntah dengan
tidak sengaja (tidak dapat ia tahan), sementara ia berpuasa, maka dia tidak
wajib mengqadha puasanya. Tapi siapa yang sengaja muntah, maka hendaklah dia
mengqadha puasanya.” (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)
d.
Bersetubuh
dengan sengaja, walaupun tidak mengeluarkan mani/ sperma
e.
Onani,
yaitu mengeluarkan air mani dengan sengaja, baik melalui ciuman, dengan tangan,
dan lain sebagainya
f.
Haid
dan Nifas
Apabila
ada seorang wanita yang tengah berpuasa, lalu tiba-tiba ia haid atau nifas pada
waktu siang, maka batallah puasanya, dan ia wajib mengqadha puasanya pada hari
yang lain.
g.
Gila
dan Murtad
Dua hal
ini membuat sah puasa menjadi hilang. Sebab, baik orang gila ataupun murtad,
keduanya telah kehilangan hak untuk beribadah.
D.
Adab Berpuasa
Dalam berpuasa, ada beberapa adab yang
perlu diperhatikan, yaitu :
1)
Menyegerakan
berbuka
2)
Makan
sahur
Rasulullah
Saw bersabda : “Sahurlah kalian, sebab
pada sahur itu terdapat keberkahan.” (H.R Bukhari dan Muslim)
3)
Mengakhirkan
sahur
4)
Meninggalkan
perkataan yang sia-sia, yaitu perkataan-perkataan yang semisal memaki,
berdusta, menggunjing, mengadu domba, dan sebagainya. Selain itu, hendaklah
seorang yang berpuasa menjaga dirinya dari perbuatan yang menimbulkan syahwat,
seperti melihat wanita, mendengarkan lagu, dan sebagainya
5)
Mandi
junub sebelum terbit fajar. Hendaknya seseorang sudah suci dari segala hadas
sejak awal puasanya. Namun demikian, bukan berarti orang junub tidak boleh
berpuasa. Hanya saja, lebih afdhal jika junub itu dihilangkan sebelum terbit
fajar
6)
Tidak
berbekam, mengeluarkan darah dari tubuh dan sebagainya
7)
Berdoa
ketika berbuka, yaitu dengan mengucapkan doa (yang artinya) :
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa. Dan dengan
rezeki-Mu aku berbuka. Sekarang hilanglah rasa haus itu dan kerongkongan pun
menjadi basah, serta pahala pun sudah ditetapkan, insyaAllah.”
8)
Memberi
berbuka orang yang berpuasa
Rasulullah
Saw bersabda, “Siapa yang memberi makanan
berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala seperti orang yang
berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.”
(HR. Tirmidzi)
9)
Banyak
bersedekah, membaca Al-Quran dan iktikaf di masjid, terutama pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan.
E.
Yang dimakruhkan Ketika Berpuasa
Adapun hal-hal dan perbuatan yang
dimakruhkan atas seseorang selama berpuasa adalah kebalikan dari semua adab
yang disunnahkan di atas, seperti mengakhirkan berbuka, menyegerakan sahur, dan
sebagainya.
Daftar
pustaka :
1. Buku Fikih Manhaji Kitab Fikih Lengkap
Imam Asy-Syafi’i Jilid 1. Dr. Musthafa al-Bugha. Dr. Musthafa al-Khann, Ali
al-Syurbaji. Penerbit Pustaka Darul Uswah.
Keyennnnnn
BalasHapus