Bagaimana
Memahami Hadis Nabi Muhammad SAW
Hadits secara bahasa
berarti sesuatu yang baru. Hadits juga berarti mimpi/ takwil mimpi, dan juga
berarti kisah (contoh : “haditsu musa” bermakna “kisah Musa”). Hadits secara istilah berarti apa
– apa yang disandarkan/ diisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw , baik berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir/ persetujuan (atau semacam itu dari
ketiganya).
Hadits berupa perkataan
disebut hadits qouliyah, Hadits berupa perbuatan disebut hadits fi’liyah, Hadis
berupa persetujuan atau diamnya Nabi terhadap sesuatu disebut hadits
taqririyah. Ada pula sebagian ulama’ yang menambahkan hadits hammiyah,
yakni hadits yang berupa hasrat atau keinginan Nabi untuk melakukan sesuatu. Contoh hadits qouliyah : Hadits : Qola Rasulullah
Saw : Innamal a’amalu binniyyat. Contoh hadits fi’liyah : Tata cara sholat “Shollu kama roaitumuni
usholli”; Manasik
haji. Contoh
hadits taqririyah : Mudhorobah/ memakai harta orang lain untuk berdagang atau
berusaha. Mudhorobah sudah ada sejak zaman jahiliyah. Rasululloh Saw membiarkan
mudhorobah ini dilakukan oleh umat muslim, Diperbolehkannya wanita menuntut ilmu, Penggunaan mata uang asing, Dalam hal fiqih, yakni
fiqh ibadah sholat, sholat rawatib dua rakaat sebelum magrib dilakukan oleh
sahabat dan dibiarkan/ didiamkan oleh Nabi Saw.
Hadits ditinjau dari segi
kredibilitas / kekuatan hukumnya dibagi menjadi :
Ø Hadits shohih, dengan
criteria :
Perawi harus adil, yang
juga berarti takwa, Isi/ matannya tidak ilat/ cacat, Perowinya dhobit/
hafalannya sempurna, Hadits tesebut harus bersambung sanadnya sampai kepada
Nabi Saw.
Ø Hadits dhoif/ lemah
Ø Hadits hasan (dikenalnya
istilah hadits hasan ini pada zaman imam tirmidzi)
Kriteria hadits Shohih :
-
Perawi harus adil, yang juga berate takwa
Perawi adalah orang yang menyampaikan hadits
Perowi berakhir pada zaman 3 H yakni zaman Imam Bukhori, Imam Muslim, dll
-
Isi/ matannya tidak ilat/ cacat
-
Perowinya dhobit/ hafalannya sempurna
-
Hadits tesebut harus bersambung sanadnya sampai kepada Nabi
Saw
Kedudukan As Sunnah (Hadits Nabi Saw)
dalam Islam
As Sunnah merupakan
penafsiran Al quran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual
dan ideal. Pribadi Nabi Muhammad Saw adalah perwujudan dari Al quran yang
ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan
sehari – hari. “Akhlaknya (Nabi Saw) adalah Al qur an” (Hadists riwayah
Muslim).
Kedudukan As Sunnah ada tiga, yakni :
1.
Sebagai manhaj yang komprehensif (Syumuliyatul Manhaj)
Manhaj Islam mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia, dalam dimensi “panjang”, “lebar”, dan “dalam”
nya. Panjang adalah rentangan waktu secara vertikal kehidupan manusia, sejak
saat kelahiran sampai kematiannya. Lebar adalah rentangan horizontal seluruh
aspek kehidupan manusia dalam bermuamalah. Dalam berarti dimensi yang berkaitan
dengan kedalaman kehidupan manusia, yaitu mencakup tubuh, akal dan ruh,
meliputi lahir batin, dsb.
2.
Manhaj yang Seimbang (Washatiyatul manhaj)
Keseimbangan antara ruh
dan jasad, antara akal dan kalbu, antara dunia dan akhirat, antara teori dan
praktik, antara kebebasan dan tanggung jawab, dsb.
Surat AlBaqoroh ayat 143
menjelaskan tentang umat islam merupakan umat yang berada di “tengah-tengah”.
Karenanya, Nabi Muhammmad Saw mengingatkan para sahabatnya yang berlaku
berlebihan untuk berlaku seimbang. Tatkala Rasulullah Saw melihat Abdullah bin
‘Amr berlebih-lebihan dalam berpuasa, ber-qiyamul
lail dan ber-tilawat Al Qur an ,
Rasulullah Saw memerintahkan nya agar melakukan semua itu dengan sedang-sedang
saja, tidak berlebih-lebihan. Sabda beliau yang artinya :
“Sungguh badanmu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk beristirahat),
matamu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk tidur), isterimu mempunyai hak atas
kamu (yakni untuk disenangkan hatinya dan dipergauli dengan baik), dan para
tamumu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk dihormati dan diajak berbincang),
maka berikan hak-hak itu kepada masing-masing.” (HR Bukhari dalam Bab
Puasa).
3.
Manhaj Memudahkan (Taisyiriyatul Manhaj)
Diantara cirri-ciri
lainnya dari manhaj ini adalah keringanan, kemudahan, dan kelapangan. Muslim
meriwayatkan hadits Rasulullah Saw : Sesungguhnya Allah Swt tidak mengutusku
sebagai seorang yang mempersulit atau mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi
aku diutus oleh-Nya sebagai pengajar dan pembawa kemudahan.
Dan ketika Rasulullah Saw
mengutus Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepada mereka berdua
dengan sebuah pesan yang ringkas namun padat : Permudahlah dan jangan
mempersulit, gembirakanlah mereka dan jangan menyebabkan mereka menjauh, dan
berusahalah kalian bedua untuk senantiasa bersepakat dan jangan bertengkar. (HR
Bukhori Muslim).
Kewajiban Kaum Muslimin terhadap As
Sunnah
è Memahami manhaj nabawi
yang terinci ini dengan sebaik – baiknya dan berinteraksi dengannya dalam aspek
hukum dan moralnya.
Karena sekarang ini terjadi krisis pemahaman
umat muslim terhadap sunnah Nabi Saw.
Tiga penyakit yang harus dihindari
oleh umat muslim sebagaimana dipesankan Nabi Saw dalam salah satu sabdanya,
yakni :
1.
Penyimpangan kaum ekstrem
Sikap berlebihan /ekstrem
dalam agama. Telah diriwayatkan dari Ibn Abbas, dari Nabi Saw :
“Jangan sekali-kali kamu sekalian bersikap berlebihan (ghuluw) dalam
agama. Sebab, sikap seperti itulah yang telah membinasakan orang-orang dahulu
sebelum kamu”.
2.
Manipulasi orang sesat
Pemalsuan atau manipulasi
yang dilakukan oleh orang-orang sesat, membuat sesuatu yang diada-adakan yang
pada hakikatnya bertentangan dengan watak aslinya, tak dapat diterima oleh
akidah maupun syariatnya, dan bahkan tidak dikehendaki sama sekali oleh ushul
(pokok-pokok ajaran) dan furu’ (cabang-cabang)nya.
3.
Penafsiran orang-orang jahil
Ada pula panafsiran yang buruk, yang
merusak hakikat agama Islam, menyelewengkan konsep-konsepnya dan mencoba
mengurangi integritasnya. Penafsiran yang buruk dan pemahaman yang lemah dan
keliru ini merupakan ciri orang-orang jahil yang tidak mengerti Islam dan tidak
mampu meresapi jiwa atau semangatnya.
Prinsip – prinsip dasar dalam
berinteraksi dengan Assunnah Annabawiyah
Pertama, meneliti dengan seksama
tentang ke-shahih-an hadits yang
dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapan oleh para pakar hadits
yang dipercaya.
Kedua, dapat memahami dengan
benar nash-nash yang berasal dari
Nabi Saw sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadits
tersebut serta sebab wurud (diucakannya) oleh beliau.
Ketiga, memastikan bahwa nash
tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang lebih kuat kedudukannya,
baik yang berasal dari Al quran, atau hadits-hadits lain yang lebih banyak
jumlahnya, atau lebih shahih darinya, atau lebih sejalan dengan ushul.
Daftar Pustaka :
1.
Buku “Bagaimana Memahami Hadis NAbi SAW : Kaifa nata’amalu ma’a as
shunnah. Karya DR. Yusuf Qardhawi. Penerjemah : Muhammad Al Baqir. Penerbit Karisma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar