Lima Hal yang sering ditanyakan mengenai Shalat
Di dalam
pembahasan fiqih ibadah, dalam hal ini fiqih shalat, sering ditemukan
pertanyaan-pertanyaan terkait adanya perbedaan di dalam masyarakat mengenai
tata cara/ fiqih sholat dalam masyarakat. Sayyid Sabiq di dalam karyanya Fiqih
Sunnah, yang sering dijadikan pedoman para ulama’ dan tabi tabi’in, menguraikan
perkara-perkara tersebut dengan menjelaskan adanya perbedaan pemikiran dalam
beberapa mazhab dan dalil-dalil yang menjadi dasarnya. Berikut kami sampaikan lima
hal yang sering ditanyakan mengenai fiqih shalat :
1. Membaca Bismillah pada saat berdiri shalat
Para ulama
sepakat bahwa basmalah/ bismillahirrohmanirrohim merupakan bagian ayat dalam
surat AnNaml. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat mengenai basmalah yang
terdapat pada setiap permulaan surah. Perselisihan pendapat mereka terbagi
kepada tiga pemikiran/ mazhab yaitu :
Pertama, ia merupakan termasuk ayat dari al-Fatihah dan dari setiap
permulaan ayat. Oleh sebab itu, membaca basmalah dalam surah al-Fatihah adalah
wajib, baik ketika dibaca secara perlahan maupun dibaca dengan suara kuat.
Alasan terkuat mazhab ini adalah hadits Na’im al-Mujammir yang berkata,
”Saya mengerjakan shalat di belakang Abu Hurairah. Lalu ia membaca ‘Bismillahirrohmanirrohim’.
Setelah itu, ia membaca Ummul Quran. Demikianlah seterusnya, dimana akhirnya
Abu Hurairah mengatakan, ‘Demi Tuhan yang telah menguasai diriku! Shalatku ini
adalah cara shalat yang biasa dikerjakan Rasulullah Saw.” (HR An Nasa’i,
Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Menurut Hafizh dalam kitab
Fat-hul Bari, hadits ini merupakan hadits paling sahih yang menyatakan bacaan
basmalah dengan suara yang keras.
Kedua, ia merupakan suatu ayat yang berdiri sendiri yang diturunkan
untuk mengambil berkah dan sebagai pemisah di antara surah-surah lainnya. Di
samping itu, membaca basmalah pada setiap kali membaca al-Fatihah adalah
sunnah. Dan seseorang yang membacanya tidak disunnahkan menggunakan suara yang
keras. Hal ini didasarkan hadits Anas r.a yang berkata,
“Aku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw dan di
belakang Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka tidak membaca
bismillahirrahmanirrahim dengan suara yang kuat.” (HR An Nasa’i, Ibnu
Hibban, dan Thawawi dengan sanad atas syarat Bukhari dan Muslim).
Ketiga, ia tidak termasuk bagian dari al-Fatihah atau surah-surah
lainnya. Seseorang yang membaca basmalah adalah dimakruhkan, baik dengan suara
perlahan maupun suara kuat, baik dalam shalat fardhu maupun dalam sunnah.
Mazhab ini tidak kuat.
Ibnul Qoyyim telah memberikan
komentar terhadap mazhab yang pertama dan yang kedua, katanya, “Kadang-kadang
Nabi Saw membaca bismillahirrohmanirrohim dengan suara yang keras, tetapi
beliau sering membacanya dengan suara perlahan. Merupakan suatu hal yang tidak
diragukan lagi bahwa beliau tidak selamanya membaca basmalah dengan suara
keras, yakni sebanyak lima kali pada tiap siang dan malam, pada waktu bermukim
maupun ketika bermusafir, ...”
2.
Tempat
Menaruh kedua tangan / bersedekap saat berdiri shalat
Kamal bin
Hammam mengatakan, “Tidak ada hadis shahih yang mewajibkan meletakkan tangan di
bawah dada, maupun di bawah pusat. Kebiasaan yang dilakukan di kalangan
pengikut Hanafi adalah meletakkan tangan di bawah pusar. Pengikut mazhab
Syafi’i meletakkannya di bawah dada, sedangkan terdapat dua pendapat yang
diriwayatkan dari Ahmad, yaitu meletakkannya di bawah pusar dan di bawah dada.
Pendapat yang benar adalah boleh melakuka kedua-duanya. Menurut Tirmidzi, para
sahabat Nabi Saw dan tabi’in, berpendapat laki-laki harus menaruh tangan kanan
di atas tangan kirinya diwaktu mengerjakan shalat. Akan tetapi, ada sebagian di
antara mereka yang meletakkannya di sebelah atas pusar, sedangkan sebagiannya
lagi berpendapat, meletakkannya di sebelah bawah pusar. Semua cara tersebut
pernah dilakukan sebagian sahabat dan tabi’in.”
Namun demikian, terdapat beberapa
riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Saw meletakkan kedua tangannya di atas dada.
Hulb ath-Thai berkata, “Saya melihat Nabi Saw menaruh tangan kanan di atas
tangan kirinya di atas dada, yakni di atas pergelangannya.” (HR Ahmad dan
dinyatakan hasan oleh Tirmidzi).
Wail bin Hajar berkata, “Saya
melakukan shalat bersama Nabi Saw maka beliau meletakkan tangan kanannya di
atas tangan kirinya di atas dada.” (HR Ibnu Khuzaimah dan ia menyatakannya
sahih. Begitu juga Abu Dawud dan Nasa’i dengan kalimat, “Lalu beliau menaruh
tangan kanannya di atas pergelangan dan lengan.” Artinya, Nabi Saw meletakkan
tangan sebelah kanan di atas punggung tangannya yang kiri, yaitu pada bagian
pergelangan dan lengannya).
3.
Membaca
al-Fatihah saat menjadi makmum dalam shalat berjama’ah
Pada asalnya,
shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat
shalat fardhu maupun shalat sunnah sebagaimana telah dikemukakan pada
pembahasan fardhu-fardhu shalat. Akan tetapi, kewajiban membaca bagi makmum
digugurkan ketika mengerjakan shalat-shalat yang mesti dikeraskan suaranya dan
ia wajib diam dan mendengarkan bacaan imam. Hal ini berdasarkan firman Allah
ta’ala, “Dan apabila dibacakan AlQuran,
maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS Al-A’raf ayat
204).
Juga sabda Rasulullah Saw, “Jika imam membaca takbir, hendaklah kamu
membaca takbir pula dan kalau ia membaca AlQuran, hendaklah kamu diam” (HR
Muslim).
Dengan demikian, inilah maksud
hadits yang berbunyi, “Barangsiapa yang
mengerjakan shalat berjamaah, maka bacaan imam itu berarti bacaannya.” Jadi,
maksudnya adalah bacaan imam itu berarti bacaan makmum pada shalat-shalat yang
harus menyaringkan suara bacaan. Adapun shalat-shalat yang harus memperlahankan
suara bacaan, maka makmum wajib membaca AlQuran. Begitu juga makmum wajib
membaca AlQuran pada shalat-shalat yang harus mengeraskan suara bacaan, jika
bacaan imam itu tidak kedengaran.
Akan tetapi Abu Bakar Ibnu Arabi
mengatakan, “Pendapat yang lebih kuat menurut kami adalah wajib membaca AlQuran
pada shalat harus memperlahankan suara bacaan karena berdasarkan keumuman
maksud dan makna hadits-hadits yang membahas dalam masalah ini. Mengenai shalat
yang harus menyaringkan suara bacaan, maka tidak boleh membaca AlQuran,
disebabkan tiga alasan:
Pertama, karena yang demikian itu merupakan amalan penduduk
Madinah.
Kedua, karena ia adalah perintah AlQuran sebagai firman-Nya, “Dan apabila dibacakan AlQuran, maka dengarkanlah
dan diamlah”. Di samping itu, ayat ini didukung pula oleh dua buah hadits,
yaitu hadits pertama adalah hadits Imran bin Husain, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa ada beberapa orang di antara kamu
telah mengacaukan pikiranku dengan bacaan”. Hadits kedua adalah ucapan Nabi
Saw., “Jika imam itu membaca ayat
AlQuran, hendaklah kamu berdiam diri”.
Ketiga, ialah tarjih, yakni mengambil pendapat yang lebih kuat.
Jadi, jika imam sudah membaca ayat AlQuran, maka si makmum tidak perlu lagi
membaca ayat AlQuran. Jika ada seseorang yang bertanya, sebenarnya makmum
dibolehkan membaca AlQuran, yaitu sewaktu imam itu berhenti sejenak. Jawabnya
adalah berhenti bukanlah suatu keharusan bagi imam. Lantas bagaimanakah caranya
melakukan atau memaksakan sesuatu yang fardhu ke dalam perkara yang tidak
fardhu, apalagi pada waktu mengerjakan shalat yang harus menyaringkan suara
bacaan? Sebenarnya, kita sebagai makmum mempunyai kesempatan untuk membaca ayat
AlQuran dengan cara lain, yaitu membacanya di dalam hati, seperti merenung dan
memikirkan maknanya. Inilah norma AlQuran dan hadits, memelihara ibadah dan
menjaga Sunnah, di samping mengamalkan pendapat yang lebih kuat atau tarjih.
Pendapat ini juga menjadi pilihan bagi Zuhri, Ibnu Mubarak, Malik, Ahmad, dan
Ishaq yang disokong oleh Ibnu Taimiyah.
4.
Cara
turun untuk bersujud dan cara bangkit untuk berdiri
Jumhur ulama
berpendapat disunnahkan meletakkan kedua lutut ke lantai sebelum kedua tangan.
Hal ini diceritakan Ibnu Mundzir dari Umar, Nakh’i, Muslim bin Yasar, Sufyan Tsauri,
Ahmad, Ishaq, dan ulama-ulama lainnya, katanya, “Itu juga merupakan pendapatku
sendiri”.
Hal itu juga diceritakan Abu
Thayyib sebagai pendapat mayoritas fuqaha. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi Saw.
Meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya jatuh ke lantai, kemudian
meletakkan kedua tangan, lalu kening dan hidung. Ini merupakan keterangan
hadits sahih yang diriwayatkan oleh Syuraik, dari Ashim bin Kalib, dari Wa’il
bin Hajar yang berkata, “Aku melihat
Rasulullah Saw. apabila sujud, maka beliau meletakkan kedua lututnya sebelum
kedua tangan. Dan jika bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua
lutut. Dan tidak ditemukan riwayat yang bertentangan dengan perbuatannya itu.”
Sementara itu, Malik, Auza’i, dan
Ibnu Hazm berpendapat, sunnah meletakkan kedua tangan sebelum lutut. Ini juga
merupakan satu riwayat dari Ahmad. Auza’i mengatakan, “Aku dapati kaum muslimin
meletakkan kedua tangan sebelum lutut mereka”. Dan menurut Ibnu Abu Dawud, ia
juga merupakan pendapat ulama hadits.
Mengenai cara bangkit dari sujud,
yakni ketika berdiri menuju rakaat kedua, maka dalam hal ini terdapat
perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Menurut jumhur ulama, sunnah
mengangkatkan tangan terlebih dulu, kemudian baru disusul dengan kedua lutut.
Sedang menurut sebagian ulama, hendaklah seseorang mengangkat kedua lutut
sebelum kedua tangan.
5.
Doa
Qunut
Disyariatkan
membaca doa qunut dengan suara keras dalam shalat lima waktu ketika ada
bencana. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a berkata, “Rasulullah Saw. pernah membaca qunut sebulan berturut-turut dalam
shalat-shalat zhuhur, ashar, magrib, isya dan subuh, yaitu pada rakaat terakhir
ketika i’tidal sesudah membaca ‘sami’allahu liman hamidah’. Di situ beliau
berdoa untuk kebinasaan bani Sulaim, Ra’al, Dzakwan, dan Ushayyah, sedangkan
makmum yang di belakang mengaminkan doanya itu. Abu Dawud dan Ahmad menambahkan
demikian, ‘Rasulullah Saw. mengirimkan beberapa orang muballigh untuk mengajak
ke dalam agama Islam, tetapi para muballigh itu dibunuh kabilah-kabilah
tersebut.’ Ikrimah mengatakan, ‘Peristiwa itu merupakan permulaan membaca
qunut’.
Qunut dalam
shalat subuh, menurut mazhab Syafi’i merupakan perbuatan sunnah. Ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah selain Tirmidzi dari Ibnu
Sirin, “Anas bin Malik pernah ditanya demikian, ‘Apakah Nabi Saw. pernah
berqunut ketika dalam shalat subuh?’ Ia menjawab, ‘Ya’. Kemudian beliau ditanya
kembali, ‘Apakah qunut itu dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya? Ia menjawab,
‘Qunut itu dibaca sesudah ruku’.” Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Ahmad, Bazzar, Daruquthni, Baihaqi, dan Hakim yang menganggapnya sahih, dari
Anas yang berkata, “Rasulullah Saw. itu
senantiasa berqunut dalam shalat subuh hingga beliau wafat”.
Sementara
pendapat imam mazhab lainnya berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh itu
tidak disyariatkan kecuali apabila terjadi bahaya. Kalau terjadi bahaya atau
bencana, maka bukan hanya dalam shalat subuh yang disunnahkan berqunut, malah
ia juga disunnahkan supaya dibaca pada setiap shalat fardhu, sebagaimana yang
telah diterangkan di atas. Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Khalifah-khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar
dan Usman) bahwa mereka tidak pernah berqunut dalam shalat subuh. Demikianlah
mazhab Hanafi, Hanbali, Ibnu Mubarak, Tsauri dan Ishak.
Ahmad, Nasa’i
dan Tirmidzi yang menganggapnya sebagai hadits sahih meriwayatkan bahwa Abu
Malik Al-Asyja’i berkata, “Ayahku pernah mengerjakan shalat di belakang
Rasulullah Saw ketika masih berusia enam belas tahun, bahkan pernah bermakmum
kepada Abu Bakar, Umar dan Utsman. Aku bertanya, ‘Apakah Nabi Saw dan para
sahabat itu pernah berqunut? Ayahku menjawab, ‘Tidak, wahai anakku. Itu hanya
suatu yang diada-adakan.”
Juga
diriwayatkan dari Ibnu Hibban, al-Khatib, Ibnu Khuzaimah dan ia menganggapnya
sebagai hadits hasan, dari Anas, “Nabi Saw itu tidak pernah berqunut dalam
shalat subuh kecuali bila untuk mendoakan kebaikan atau kebinasaan sesuatu
kaum”.
Akan
tetapi, walau bagaimanapun perselisihan para ulama dalam hal ini maka qunut itu
termasuk sesuatu hal yang mubah. Dengan kata lain, ia boleh dilakukan atau
ditinggalkan. Hanya sebaik-baiknya adalah mengikuti keterangan dan perbuatan
yang berasal dari petunjuk Nabi Muhammad Saw.
Wallohua'lam bisshowwab.
Sumber : Kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq