Belajar Leadership dari Sang Sultan
Sultan Muhammad Al Fatih
(Sultan Muhammad Al Fatih, Sang Penakluk)
“Sungguh Konstantinopel akan
ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah penakluknya dan sebaik-baik pasukan
adalah pasukannya.” (HR Ahmad)
Sultan
Muhammad Al-Fatih ialah Sultan Muhammad II bin Sultan Murad II dilahirkan di
istana Sultan yang terletak di ibukota Daulah Utsmaniyah, Adarnah, pada pagi
hari tanggal 30 Maret 1432 M. Kabilahnya adalah Ibih Khatun, dan pengasuhnya
adalah ibu susuannya, Ummu Kaltsum Khatun. Ia benar-benar mendapatkan perhatian
ayahnya, Sang Sultan, dan ibundanya, Ratu Himmah Khatun, serta kakaknya,
Alauddin yang berusia 7 tahun saat Muhammad Al-Fatih dilahirkan. Ayahnya, yaitu
Sultan Murad II bernama lengkap Sultan Murad bin Sultan Muhammad Jalabi, sultan
ke 6 dalah Daulah Utsmaniyah. Ia dilahirkan pada tahun 806 H dan menjabat
sebagai sultan setelah ayahnya wafat pada tahun 824 H. Ketika itu, usianya
tidak lebih dari 18 tahun.
Pada bulan
Dzulqa’adah tahun 846 H / 1443 M, putra mahkota dari Sultan Murad, yaitu Syah
Zadah ‘Alauddin meninggal dunia. Ia dimakamkan di Busra. Setelah itu, posisi
putra mahkota pun diserahkan kepada adiknya, Pangeran Muhammad II yang saat itu
masih berusia 11 tahun. Sultan Murad II kemudian melepaskan jabatan kesultanan
dan menyerahkannya kepada putranya, Muhammad II yang digelari Al Fatih. Sultan
kemudian berkonsentrasi untuk beribadah di Masjid Jami’-nya di kota Magnesia.
Namun jabatan itu dikembalikan kepada Sultan Murad II untuk kedua kalinya pada
bulan Januari tahun 1445 M setelah terjadinya pertempuran di kota Varna.
Namun beliau
kembali memutuskan untuk beri’tikaf pada bulan Desember 1445 M dan
mengembalikan singgasananya kepada Sultan Muhammad II. Beliau kembali ke
mesjidnya di Magnesia. Lalu ia kembali menjabat kesultanan untuk ketiga kalinya
pada bulan Mei 1446 M, kemudian Muhammad Al Fatih menjadi gubernur Sharukhan di
Manessa. Ia menjadi penguasa pelaksana dan panglima militer pada kawasan Asia
dari kesultanan.
Pada bulan
Februari tahun 1452 M, Sultan Murad II akhirnya meninggal dunia. Setelah
wafatnya, Al Fatih kembali dari kota Manessa, pusat pemerintahan Sharukhan, dan
dibaiat sebagai khalifah ada usia 19 tahun. Ia menjadi sultan ke tujuh dari
silsilah pada sultan Dinasti Utsmani. Dari istri pertamanya, Aminah Kalbahar,
Sultan dikarunia putra mahkota yakni Sultan Bayazid II.
Proyek peradaban dan pembangunan
Sultan
Muhammad Al Fatih memiliki gagasan proyek peradaban dan pembangunan yang
cemerlang dimana Beliau :
a. Beliau
mendirikan sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga akademik serta upaya penyebaran
ilmu di seluruh penjuru negeri
b. Beliau
mendirikan perpustakaan-perpustakaan besar dan menetapkan sistem pendidikan
yang menunjukkan kecerdasan ilmiah yang telah mendahului zamannya
c. Beliau
mencintai para ulama, selalu mengundang mereka hadir di istananya dan mengambil
manfaat dari ilmu mereka
d. Beliau
memiliki perhatian terhadap penyair dan sastrawan serta kegiatan penerjemahan
dari berbagai cabang ilmu, antara lain kedokteran, farmasi dan falak
e. Beliau
membangun berbagai rumah sakit, istana, masjid dan pasar-pasar besar serta
memperhatikan pengaturan perdagangan dan produksi
f.
Beliau mengeluarkan aturan yang detil untuk
manajemen administrasi, khususnya terkait dengan bidang ketentaraan dan
kelautan serta sistem peradilan yang dijadikannya sebagai lembaga independen. Beliau
menegaskan posisi para hakim yang begitu terhormat dan pentingnya menetapkan
putusan yang adil dan setara
g. Beliau
yang pertama kali menerapkan ide adanya ujian yang mengharuskan kelulusan untuk
berpindah ke tingkatan studi selanjutnya
h. Beliau
mendirikan Rumah Sakit Umum dalam pengertian dan sistem yang kita kenal dan
jalankan hari ini. Dan pengobatan yang dijalankan di dalamnya adalah gratis
tanpa membedakan rakyat dari kalangan manapun
i.
Beliau melaksanakan pembangunan militer dalam
berbagai bentuknya. Ia mendirikan pabrik-pabrik industri militer untuk menutupi
berbagai kebutuhan pasukannya, seperti : pakaian, pelana kuda, perisai,
pabrik-pabrik amunisi dan senjata. Ia juga mendirikan benteng-benteng dan
pertahanan di berbagai titik yang strategis secara militer
j.
Ia melakukan berbagai pengaturan yang sangat
detil dan rapi. Pembagian itu terdiri dari pasukan berkuda (kavaleri), pasukan
pejalan kaki (infanteri), operator meriam dan pasukan-pasukan pembantu yang
bertugas untuk menyampaikan kebutuhan pasukan-pasukan yang bertempur, seperti :
bahan bakar, makanan, makanan ternak. Mereka juga bertugas menyiapkan
kotak-kotak perbekalan hingga medan perang.
Toleransi dan Akhlak Mulia
Toleransi dan
akhlak mulia telah dicontohkan oleh Ayahanda Sultan Muhammad Al Fatih, yaitu
Sultan Murad II. Saat rombongan utusan dari kota Yania datang :
"Wahai Sultan yang Agung,
kami datang untuk meminta bantuan pertolongan dari Anda. Sesungguhnya para
pemimpin kami telah menzhalimi kami dan memperlakukan kami seperti budak.
Mereka merampas harta kami, lalu menyeret kami dalam peperangan.”
“Apa yang dapat aku lakukan untuk
kalian ? Ini adalah masalah kalian dengan para pemimpin kalian? Ujar Sultan.
“Kami, wahai Sultan, bukanlah
orang Muslim. Kami adalah umat Kristen. Namun kami sudah seringkali
mendengarkan tentang keadilan kaum muslimin, dan bahwa mereka tidak pernah
menzhalimi rakyatnya. Mereka tidak akan memaksa seorang pun untuk memeluk agama
mereka, dan bahwa siapapun yang mempunyai hak akan mendapatkan haknya di
hadapan mereka. Kami mendengarkan itu semua dari para peziarah dan pedagang
yang mengunjungi kerajaan Anda. Karena itu kami berharap Anda dapat mengayomi
kami dengan penjagaan dan kasih sayang kalian, dan agar Anda dapat memerintah
negeri kami agar kalian dapat membebaskan kami dari penguasa kami yang zhalim.”
Mereka
kemudian menyerahkan kunci emas kota itu. Sultan memenuhi harapan penduduk kota
Yania itu. Ia lalu mengutus salah seorang panglimanya membawa sebuah pasukan
mendatangi kota tersebut. Beliau akhirnya berhasil menaklukkan kota tersebut
pada tahun yang sama, yaitu tahun 1431 M. Ini bukanlah kisah khayalan, meskipun
ia adalah kisah yang menakjubkan. Ini adalah kisah yang benar-benar terjadi dan
tercatat dalam sejarah. Saat itu kaum muslimin memang menjadi simbol keadilan
dan kemoderatan.
Setelah
penaklukan Konstantinopel, Sultan
Muhammad Al-Fatih memperlakukan penduduk Konstantinopel dengan penuh kasih,
memerintahkan pasukannya untuk memperlakukan para tawanan dengan baik dan
lembut. Bahkan beliau menebus banyak tawanan itu dengan uangnya sendiri,
terutama tawanan dari kalangan bangsawan Yunani dan para pemuka agama. Beliau
juga bertemu dengan para Uskup untuk menenangkan rasa takut mereka dan
memberikan mereka ruang untuk tetap menjalankan ideologi, ibadah dan rumah
ibadah mereka. Beliau menyiapkan jamuan makan sambil berdiskusi tentang
berbagai tema : agama, politik dan sosial. Sang Pemimpin Uskup itupun keluar dari
kediaman Sultan dan pandangannya benar-benar berubah terhadap para Sultan
Usmani dan juga tentang bangsa Turki, bahkan terhadap kaum muslimin secara
umum. Ia merasa berada di hadapan seorang Sultan yang terdidik, mempunyai misi
dan keyakinan agama yang kuat, rasa kemanusiaan yang tinggi dan keperwiraan
yang sempurna.
Toleransi dan
akhlak mulia juga tampak ketika Sultan Muhammad Al-Fatih mengirimkan sebuah
pesan kepada Fransiskan dari penduduk negeri Boshwich demi menenangkan mereka
bahwa ia tidak akan mengganggu siapa pun dari mereka dengan melakukan penekanan
karena keyakinan agama mereka. Dalam pesan itu ia mengatakan :
“Aku Sultan Muhammad Khan
Al-Fatih, mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa penduduk Bosnia Fransiskan
berdasarkan pada titah kesultanan ini telah mendapatkan perlindungannya. Dan
kami memerintahkan untuk :
Tidak ada seorang pun yang
mengganggu mereka, juga gereja-gereja dan salib mereka! Dan bahwa mereka akan
hidup dengan damai di dalam negaraku. Bahwa mereka yang telah berhijrah akan mendapatkan
jaminan keamanan dan kemerdekaan, mereka akan diizinkan untuk kembali ke
desa-desa mereka yang terletak dalam gugus perbatasan negara kami. Tidak ada
seorang pun dari pihak negara kami; baik itu bangsawan, menteri, pemuka agama
atau para pembantu kami yang akan mengganggu kehormatan dan diri mereka! Tidak
ada seorang pun yang akan mengancam atau mengganggu orang-orang itu dalam diri;
harta milik dan gereja mereka! Semua barang kekayaan yang mereka bawa serta
bersama mereka akan mendapatkan perlindungan yang sama. Dengan pernyataan titah
ini, maka saya bersumpah dengan nama Allah yang Maha Agung, yang telah
menciptakan bumi dalam 6 hari, telah mengangkat langit tanpa tiang, bahwa kami
tidak akan membiarkan seorang pun dari pribadi rakyat kami melanggar titah
ini!”
Murid yang cerdas dari guru
teladan
Sejak kecil, Sultan Muhammad Al
Fatih telah menguasai bahasa Turki, Persia dan Arab; baik untuk kemampuan
membaca, menulis, berbicara dan menerjemahkannya. Lalu dimasa remajanya ia
mempelajari bahasa Yunani, Serbia, Italian dan Latin. Al Fatih sangat menaruh
minat untuk berdiskusi dengan para ulama. Ia dikenal sering terlibat dalam
berbagai diskusi dengan beberapa duta-duta besar dan perwakilan misi-misi
diplomatik asing tanpa bantuan para penerjemah. Al Fatih menguasai ilmu-ilmu Al
Quran, hadis Nabi, fikih dan ushul fikih serta ushuluddin. Ia juga menonjol
dalam ilmu sejarah, geografi dan mantiq. Demikian pula ilmu-ilmu pasti seperti
matematika dan falak, serta politik.
Ayahanda beliau telah menyiapkan
guru-guru teladan baginya, yaitu ulama Maula Ahmad bin Ismail Al Kuraini dan
Syekh Aaq Syamsuddin yang membina dan mendidik Pangeran Al Fatih. Beliau juga berguru
kepada banyak ilmuwan, baik dari kalangan muslim maupun non muslim, antara lain
Mahmud Bek Qushab Zadah, Ibrahim Basya
AlNaisyanjy dan ilmu militer dari Syihabuddin Syahin Basya, ilmu sastra dari
penyair zamannya Hamiduddin bin Mulla Afdhal dan Al Wazir Ahad Basya Al
Burshly, dan mempelajari sejarah, bahasa, geografi dan arkeolog dari Sinjaco
Anconistato, dan Geofani Mario Angelello.
Ahli Strategi
Sultan
Muhammad Al Fatih dikenal memiliki kecerdasan dalam mengatur strategi. Beliau mempelajari
metode-metode perang dan mengkaji buku-buku trik-trik mekanik, hingga ia
kemudian berhasil menciptakan sebuah ketapel (pelontar besar), 4 menara
bergerak, dan berhasil membuat sebuah meriam bergerak pertama dalam sejarah. Beliau
mengawasi sendiri pembuatan meriam-meriam raksasa yang kelak akan merobek-robek
pembatas-pembatas Konstantinopel dan benteng-benteng lainnya yang sangat kuat
di masa lalu.
Meskipun
memiliki strategi yang luar biasa, beliau juga mengedepankan negoisasi. Seperti
yang termuat di dalam surat beliau ke kaisar Konstantinopel : “Maka hendaknya
kekaisaran Anda menyerahkan kota Konstantinopel kepadaku, dan saya bersumpah
bahwa pasukan saya tidak akan mengganggu seorang pun (dari penduduk kota itu),
baik jiwa, harta dan kehormatannya. Dan siapa yang tetap mau tinggal dan hidup
di kota tersebut, maka ia akan aman dan selamat. Dan siapa yang ingin meninggalkannya
ke mana saja ia mau maka ia juga akan selamat.”
Strategi
cemerlang Sultan adalah saat memindahkan kapal-kapal dari tempat berlabuhnya
menuju Teluk Tanduk Emas dengan cara menariknya melalui jalan darat yang
terletak antara dua pelabuhan demi menjauhi Benteng Galota, karena khawatir
kapal-kapal itu akan terlihat oleh pasukan sebelah barat. Jarak antara kedua
pelabuhan itu sekitar tiga mil, dan bukan sebuah permukaan yang mudah dilalui,
melainkan sebuah tanah perbukitan dan terjal serta tidak mulus. Sultan Muhammad
Al Fatih mulai meratakan permukaan tanah dan memuluskannya dalam beberapa saat.
Ia menghadirkan beberapa papan yang diolesi dengan minyak dan lemak, lalu
diletakkan di atas jalan yang membentang dengan cara yang memudahkan untuk meluncurkan
dan menarik kapal-kapal itu.
Bagian
tersulit dari proyek itu adalah memindahkan kapal-kapal tersebut pada bagian
terjal dan meninggi. Hanya saja secara umum, kapal-kapal perang Utsmani
berbentuk kecil dan ringan. Kapal-kapal itu pun berjalan dari Teluk Bosporus
menuju daratan, dimana ia kemudian ditarik di atas kayu-kayu yang telah
diminyaki sepanjang tiga mil, hingga akhirnya tiba di titik yang aman untuk
kemudian diturunkan ke Teluk Tanduk Emas. Pada malam itu, pasukan Usmani
berhasil menarik lebih dari tujuh puluh kapal laut dan menurunkannya di Teluk
Tanduk Emas di saat musuh mereka sedang lalai. Mereka melakukannya dengan cara
yang berlum pernah dilakukan kecuali oleh Sultan Muhammad Al Fatih. Beliau
sendiri yang mengawasi proses operasi yang berlangsung di malam hari itu, jauh
dari pengawasan musuh-musuhnya.
Metode-metode
baru yang digunakan oleh pasukan Sultan untuk bisa menembus benteng kota
Konstantinopel yaitu :
1) Mereka
membuat lubang-lubang terowongan di bawah tanah dari berbagai lokasi untuk
masuk ke dalam kota, hingga para penduduk kota itu mendengarkan suara pukulan
yang sangat keras di dalam tanah yang semakin lama semakin mendekat ke dalam
kota
2) Pasukan
Utsmani membuat benteng kayu yang besar dan tinggi yang dapat bergerak dan
terdiri dari 3 tingkat. Ketinggiannya harus melebihi ketinggian pagar benteng
Konstantinopel. Benteng itu ditutupi dengan perisai dan kulit yang dibasahi
dengan air demi mencegah api. Benteng itu lalu dibekali pula dengan sejumlah
prajurit di setiap tingkatnya. Pada tingkat atas diletakkan para pemanah yang
akan memanah siapa saja yang kepalanya muncul di atas pagar benteng
3) Salah
satu strategi militer paling populer dalam sejarah dan yang masih saja terus
dikaji hingga hari ini di berbagai akademi militer adalah apa yang dilakukan
oleh Muhammad Al-Fatih dalam penaklukan Konstantinopel. Kapal-kapalnya yang
membawa meriam-meriam besar itu diseberangkan menuju Teluk Tanduk Emas.
Ternyata mereka menemukan orang-orang Byzantium telah menutup teluk itu dengan
rangkaian rantai besi besar yang membentang di antara dua tepian pantai yang
menghalangi kapal-kapal yang akan menyeberang. Namun hal ini tidak menyurutkan
semangat Sang Panglima pemberani ini dan tidak membuatnya surut untuk terus
maju. Ia telah memutuskan untuk melakukan sebuah operasi terbesar dalam sejarah
untuk memindahkan armada kapal lautnya. Seluruh pasukan kemudian menarik armada
kapal laut tersebut di atas balok-balok kayu yang diletakkan di atas daratan
dan berputar dari arah belakang rantai-rantai tersebut. Armada itu akhirnya
berhasil turun ke laut sekali lagi (setelah melintasi perbukitan) dan
orang-orang Byzantium dikejutkan dengan gerakan berputar yang belum pernah
dilakukan sebelumnya di sepanjang sejarah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah
kemiliteran, seorang panglima dengan berani memindahkan armada kapal lautnya
dengan sesama beban meriam yang berat dengan melintasi puncak gunung, kemudian
turun kembali ke laut untuk menghadapi musuhnya. Akibat keterkejutan itu
jatuhlah Konstantinopel dalam genggaman Al-Fatih dengan kerugian yang sangat
sedikit.
Sultan Muhammad Al Fatih tidak
berperilaku sombong dalam berperang. Saat berhasil menaklukkan Konstantinopel,
para komandan pasukan mengucapkan selamat kepadanya, ia berkata :
“Segala puji bagi Alloh. Semoga Alloh
merahmati para syuhada’ dan mengaruniakan kemuliaan dan kehormatan kepada para
mujahidin. Dan aku sampaikan kebanggaan dan terimakasih kepada rakyatku.”
Wasiat Terakhir Sultan Al Fatih
Berikut ini
adalah wasiat Muhammad Al-Fatih kepada putranya saat ia menghadapi kematiannya;
sebuah wasiat yang mengungkapkan bagaimana prinsipnya menjalani kehidupan,
nilai-nilai dan keyakinan yang ia yakini dan ia harapkan dijalani oleh para
khalifah sesudahnya :
“Tidak lama lagi aku akan mati.
Tetapi aku tidak pernah menyesal karena telah meninggalkan calon penerus
sepertimu. Jadilah orang yang adil, shaleh dan penyayang. Lindungilah seluruh
rakyatmu tanpa membeda-bedakan, dan bekerjalah untuk menyebarkan agama Islam.
Karena ini adalah kewajiban semua raja di atas muka bumi. Dahulukan perhatianmu
kepada agama atas urusan apapun. Jangan berhenti untuk terus melakoninya.
Jangan memilih orang yang tidak memperhatikan urusan agama... tidak menjauhi
dosa-dosa besar dan tenggelam dalam maksiat. Jauhilah bid’ah yang merusak. Jauhi
olehmu orang yang mengajakmu melakukan bid’ah itu. Perluaslah negerimu dengan
berjihad dan jagalah jangan sampai harta Baitul Mal itu agar tidak
dihambur-hamburkan.
Jangan mengambil harta seorang
pun dari rakyatmu kecuali dengan aturan Islam. Berikan jaminan makanan bagi
orang-orang lemah. Muliakanlah sebaik-baiknya orang-orang yang berhak.
Ketahuilah bahwa para ulama itu seperti kekuatan yang tersebar dalam tubuh
negaramu. Maka muliakan kehormatan mereka dan motivasilah mereka (dengan yang
kau miliki). Jika Engkau mendengarkan seorang ulama di negeri jauh, maka
undanglah ia datang dan muliakanlah ia dengan harta...
Waspada dan hati-hatilah, jangan
sampai engkau terlena dengan harta dan pasukan yang banyak. Jangan sampai
engkau menjauhi para ulama syariat. Jangan sampai engkau cenderung melakukan
amalan yang menyelisihi syariat. Agama adalah tujuan kita, hidayah adalah jalan
hidup kita, dan dengan itulah kita akan menang. Ambillah pelajaran ini dariku.
Aku datang ke negeri ini seperti ini seperti seekor semut yang kecil. Lalu
Allah memberiku semua nikmat yang besar ini. Karenanya ikutilah jalanku dan
jejakku. Bekerjalah untuk meneguhkan agama ini dan memuliakan para pengikutnya.
Jangan menggunakan uang negara untuk kemewahan dan kesia-siaan atau menggunakannya
lebih dari yang seharusnya, karena itu adalah penyebab terbesar kebinasaan.”
Sultan Muhammad Al Fatih wafat
pada tanggal 4 Rabi’ul Awwal 886 H / 3 Mei 1481 M di Askodra, di dalam tendanya
di antara prajurit-prajuritnya.
Daftar Pustaka : Resensi dari Buku Sultan Muhammad AlFatih,
karya Syeikh Ramzi Al Munyawi, Pustaka AlKautsar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar